10 Tahun di Bulan Agustus, Kita Akan Bertemu Lagi

ㅤ “Terus abis itu mereka beneran diarak keliling komplek pake kostum hiu, ‘kan? Anjrit, gue masih inget banget.” Gelak tawa khas dari yang paling tua menggema di gedung pernikahan yang sudah sepi tamu. Menyisakan lima insan yang terduduk melingkar di meja bundar, asyik membuka lembar-lembar album nostalgia semasa ngekos bersama.

“Mana pas itu sore-sore rame anak kecil lagi main. Beneran jadi badut hiburan komplek.” Timpa lelaki berkulit madu di sebelah.

Si paling muda, yang menjadi bahan pergunjingan hanya tersenyum simpul.

Masa-masa penghujung remajanya… Ah, benar-benar seru dan banyak kenangan yang bisa diceritakan ke anak cucu.

ㅤ Langkah mendekat dari sosok berjas hitam fancy dengan riasan yang memperelok wajahnya, mengalihkan atensi lima pasang mata yang sedang dihampirinya.

Lelaki ini memang sedang menjadi raja, sedang menjadi pusat atensi untuk hari ini.

“Ngobrolin apaan, sih? Kok keliatan heboh banget?”

“Ini, flashback zaman ngekos bareng dulu. Pas Jidan sama—“ ucapan Hugo terpotong saat menyadari adanya eksistensi lain yang mengekori sang pengantin baru. Bibirnya terlipat masuk, terkejut.

Keempat yang lain sama terkejutnya. Tidak menyangka bahwa tamu spesial ini akan datang.

Hening. Kalau melanjutkan obrolan soal nostalgia kos, mungkin dia yang menyimpan paling banyak rasa pahit.

ㅤ “Kok gitu banget reaksinya? Kehadiran gue tidak diharapkan, kah?” candanya disertai kekehan dengan suara berat.

Ia menarik satu kursi, mendudukkan diri di samping lelaki yang sejak kehadirannya tadi terus menundukkan wajah, tak berani bersinggung tatap.

“Bang Markus, Hugo, happy wedding ya, sorry dulu nggak bisa dateng,” ucapnya pelan sambil menyodorkan sebuah kotak biru navy berukuran sedang.

“Thank you dude, nggak perlu repot-repot harusnya, udah lama juga gue kawinnya.”

Tanpa perlu bertukar opini satu sama lain, enam pria itu sepakat dengan pemikiran yang sama.

Auranya beda banget sama yang dulu. Jauh lebih berwibawa.

Gini ya, hasil pergaulan 7 tahun di London?

Canggung masih mendominasi. Ya gimana, masalahnya, mereka dan sosok ini berpisah dengan cara yang sedikit… tidak harmonis.

Lulus paling dulu, tiga setengah tahun. Bahkan membalap Markus yang lulus dengan dua digit semester.

Tidak pamit, tidak pernah cerita, tiba-tiba upload story di bandara, punya kehidupan baru di negeri orang, lalu hilang kontak.

ㅤ Bukan marah, mereka hanya ditinggal dengan banyak tanda tanya di kepala, pun sebenarnya mereka semua yakin, jawabannya memiliki alasan berat yang sulit dijelaskan. ㅤ

“Apaan, nih!?” Suara Hugo memecah sunyi yang sedari tadi melingkupi.

Tangannya mengangkat tinggi-tinggi baju bunga-bunga yang terlihat seperti…

Daster hamil!?

“Gue denger-denger dari Leo, lu mau punya anak. Ya udah.”

“Brengsek! Gue mau adopsi bego! Lu pikir gue bisa bunting!?” Hugo melempar hadiah bajunya ke wajah tampan—mantan—teman satu kosnya itu. Mengundang tawa dari yang lain.

Mengundang suasana untuk mulai mencair.

Ternyata masih sama.

Najmi tetaplah Najmi.

“Bercanda bro, nih kado aslinya. Jelek lu marah-marah di hari bahagia orang lain.” Najmi menyodorkan sebuah paper bag mungil dengan brand perhiasan terkenal tercetak di sana.

Matanya kemudian mengedar, berhenti pada sosok jangkung yang di penghujung usia 20-annya masih terlihat… “Aduh, dedek Jidan masih gemesin aja!”

Netranya menangkap seikat bunga yang tergeletak manis di samping piring kue-kue Zidan. ㅤ

“Hmmm, bau-bau bentar lagi bakal kondangan lagi nih gue, kapan nyusul, Jie?”

“Ekhem!” Leo menyela.

“Bang, muter-muter makan dulu, yuk? Sate ayamnya enak banget, lu harus nyobain, deh.”

ㅤ “Sama gue aja.” Pria mungil yang sejak tadi diam di sebelah Najmi akhirnya bangkit berdiri.

“Lu pasti capek Le, seharian ketemu tamu. Biar gue aja yang nemenin Najmi.”


Najmi memandang lekat pada Arjuna, mengamati tiap mili pergerakan lelaki yang dengan telaten mengambilkannya dimsum.

Sejak kapan Arjuna jadi lemah lembut begini?

“Dateng ke sini sama siapa, Jun?”

“Nebeng Hugo.”

Najmi terkekeh geli. Arjuna ini, jiwa nebengnya masih dibawa sampai udah jadi om-om.

Sepiring dimsum sudah berpindah ke tangannya. Alih-alih kembali pada teman-teman yang lain, dua adam itu memilih untuk berdiri bersandingan di depan stand booth makanan.

“Masih sendiri, Jun?” tanya Najmi santai sambil mengunyah lumpia udang.

Kelewat santai, sampai-sampai Arjuna yang tidak sedang makan apapun nyaris tersedak.

Ia tahu betul arah pertanyaan Najmi ke mana.

Bukan, bukan perihal status dirinya yang masih single atau sudah ada yang punya.

Ia tahu betul maksud pertanyaan Najmi adalah dirinya yang selama ini selalu memenjarakan diri dalam belenggu kesendirian.

Arjuna menelan rasa grogi di ujung kerongkongannya. “Udah enggak, gue udah nggak apa-apa.”

Najmi mengangguk paham. “Terus? Kok masih sendirian?”

Nah, yang ini baru, pertanyaan soal statusnya.

“Nungguin orang yang tiba-tiba ilang dan nggak muncul-muncul.”

Najmi menoleh cepat. Tapi rasa GR-nya harus tertunda saat ia merasakan sebuah lengan merangkul pundaknya dan Arjuna secara bersamaan.

“Guys, it’s show time.”

Najmi mengangkat sebelah alis, melirik bingung pada Arjuna dan Hugo bergantian.

Dia baru datang. Nggak tau apa-apa.

Apa maksudnya akan ada penampilan artis papan atas? Tapi tamu-tamunya ‘kan sudah pada pulang?

Arjuna hanya membalas dengan senyum penuh makna, lalu menarik tangannya, mengikuti langkah Hugo yang memandu kakinya entah ke mana.


Zidan mungkin terlalu tua untuk dikatai sebagai anak ayam yang kehilangan induknya. Tetapi memang hanya itu istilah yang paling tepat untuk menggambarkannya sekarang.

Kepalanya menoleh ke sana ke mari. Entah bagaimana cerita dan kronologinya, tiba-tiba dirinya ditinggal sendirian. HPnya juga tidak di tangannya.

Rasa-rasanya ia pernah mengalami hal yang seperti ini sebelumnya.

Berpisah dari rombongan teman-teman kosnya dan tidak bisa menghubungi siapa-siapa.

Rasa deja-vu-nya meningkat saat suara intro gitar yang begitu familiar masuk ke gendang telinganya.

Matanya melotot lebar saat melihat sang abang berdiri di panggung dekat pelaminan. Lengkap dengan satu set gitarnya. Sendirian.

Sendirian, karena bandnya sudah bubar.

Makanya, nggak mungkin ‘kan abangnya jadi wedding singer di nikahan Leo? Ngapain?

Zidan cuma bisa bengong. ㅤ

My love towards you~ Adek, balik badan liat bawah, dek!”

Zidan makin bingung, bang Jaya di tengah-tengah nyanyian malah meneriaki dirinya.

Namun sebagai adik yang berbakti, ia menurut.

Baru saja badannya setengah berbalik, ia terperanjat kaget.

Zendra.

Pacarnya.

Berlutut di depan kakinya.

“Mas, kamu ngapain!?” Zidan bertanya hanya untuk mewakili rasa gugupnya. Dilihat bagaimana-pun, apa yang dilakukan Zendra sekarang, jelas sekali tujuannya ke mana.

Tapi, di sini banget? Sekarang banget?

Agak jauh di belakang Zendra, teman-temannya yang lain bergerombol.

Tidak berkontribusi apapun, cuma mau menonton.

It’s beautiful~

Ah, lagu ini. Zidan betulan jadi teringat kenangan manis di masa lalu.

Zendra meraih kedua tangan Zidan. Dielusnya sebentar, sebelum dengan gugup mendongak untuk menatap netra lelaki yang sudah dipacarinya hampir sepuluh tahun.

“Sepuluh tahun. Tepat sepuluh tahun yang lalu, di bulan Agustus, kita ketemu untuk yang pertama kali.”

Baru kalimat pembuka, tapi Zidan sudah merasakan ada basah yang menggenang di pelupuk matanya.

Zendra mengulurkan tangan untuk menyisir gelang hitam dengan inisial Z di pergelangan kiri Zidan. Gelang yang sama dengan yang dikenakannya.

“Gelang ini kamu dapetin waktu hari jadian kita.” Zendra memindai sekelilingnya sejenak. Menatap bang Jaya yang masih bernyanyi lembut.

“Suasananya mirip sama sekarang. Minus becek.”

Zidan tertawa bersamaan dengan satu air mata yang lolos menetesi pipinya. Ia ingat betul bagaimana dirinya kesal saat sepatu kets kesayangannya kotor karena menginjak genangan hujan di festival musik Fakultas Teknik.

“Sampe udah buluk banget saking lamanya kita pake.”

Zendra merogoh sesuatu di saku kemejanya.

Sebuah kotak bludru merah.

Zendra menatapnya lagi, tepat pada maniknya yang berkaca-kaca.

“Mau ganti yang baru aja, nggak?”

Zendra membuka kotak tersebut. Sebuah cincin platinum dengan ukiran cantik membentuk huruf Z dengan aksen butiran berlian kecil.

“Zidan. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, lima puluh tahun. Bahkan kalau umurku tinggal sehari, aku maunya dihabisin sama kamu.”

Zidan merasakan genggaman Zendra pada tangannya mengerat. Kentara sekali gugupnya.

Bahkan kalau ia boleh menebak, pacarnya itu pasti sudah menyiapkan script berminggu-minggu lalu. Dan hafalan luar kepalanya… Sekarang sudah betulan lenyap keluar dari kepala.

“Zidan, aku pengen kamu jadi orang terakhir yang aku lihat waktu nutup mata, dan jadi orang pertama yang aku lihat waktu buka mata.”

It’s beautiful~

It’s beautiful~

Zendra masih menatapnya lekat, memandangnya penuh sayang, sayang yang tidak pernah pudar.

Zendra, tidak pernah berubah.

Sama seperti Zendra sepuluh tahun lalu yang mengajaknya berpacaran dengan cara paling blak-blakan.

Zendra, tidak pernah berubah.

“Zidan, aku sayang banget sama kamu, ayo nikah.”

ㅤ Lalu, sama seperti dirinya sepuluh tahun lalu yang menerima ajakan berpacaran Zendra dengan cara lebih dari blak-blakan.

Zidan juga, tidak pernah berubah.

Ia menarik tengkuk Zendra. Memberikan ciuman singkat, menyalurkan seluruh buncah di hatinya sebagai bentuk jawaban iya.

Semua tentang mereka berdua masih sama.

Tidak pernah berubah.

Hanya satu yang menjadi pembeda. ㅤ

Tak ada lagi sembunyi-sembunyi.

Sebab…

ㅤ “Seluruh dunia harus tau kalo gue bakal jadi suami Jidan!!!!”

Gema tawa dan sedikit isak haru dari… Tunggu, kenapa tiba-tiba gedung nikahan Leo jadi ramai orang lagi?

Zidan tersipu dibalik dekapan erat calon suaminya pada tubuhnya.

Matanya melirik malu pada sobat satu kosannya yang melempar senyum bahagia.

Lalu pada abangnya yang menyanyikan bait terakhir lagu dengan suara sedikit tercekat. ㅤ

Words can’t describe~

This beautiful feeling~

Again.