Seperti Angin Hangat di Pergantian Musim

Jika manusia tercipta dari kepingan beling-beling, maka Jisung bukanlah cerminan diri Jeno.

Jika entitasnya adalah pecahan abstrak, runcing pada setiap sisi menoreh luka. Maka, lain halnya dengan Jisung. Elok kacanya memantulkan cahaya benderang, terutama pada remang hidup Jeno.

ㅤ “Kamu udah bangun?” ㅤ Jeno bangkit dari tidurnya, sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuannya. Sentuhan lembut menempel pada dahinya yang terasa berat.

“Masih anget dikit. Kamu tiduran lagi aja ya, aku mau manasin sop ayam dulu.”

Jeno menarik pergelangan tangan Jisung yang sudah siap-siap berbalik keluar kamar.

I’m sorry,” ucap Jeno sembari mengecup punggung tangan sang kekasih.

Tanpa kata, Jisung hanya membalas dengan senyuman hangat. Didorongnya pelan bahu Jeno untuk merebah, lalu meninggalkan satu kecupan penuh sayang pada keningnya. ㅤ Jika yang menyambut netranya terbuka adalah orang lain, Jeno tidak mungkin mendapatkan sentuhan-sentuhan lembut seperti sekarang. Bahkan untuk sekadar menangkap raut khawatir pun, Jeno tidak berani berharap. Tak ayal, yang didapatinya justru sumpah serapah dan sederet kalimat cacian, atau luka di ujung bibirnya yang semakin bertambah. ㅤ


ㅤ Jisung menyuapi Jeno dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, berhati-hati agar tidak menyenggol goresan kemerahan pada sudut bibirnya. Pacarnya itu bahkan beberapa kali merintih menahan perih saat mengunyah makanan.

Di mata Jisung, Jeno selalu seperti itu. ㅤ Jeno selalu menahan pilu.

Jika bagi banyak orang, runcing pada sosok Jeno hanya menyumbang luka. Dari kacamata Jisung, tajamnya diri Jeno adalah bentuk perlindungan, sebab dirinya lah yang paling sering tergores luka.

Telinga Jisung banyak menangkap bisik-bisik atau bahkan ujaran langsung. Tentang bagaimana,

“Jisung pantes dapet yang lebih baik.”

“Jisung kok masih mau ya sama Jeno?”

“Kamu nggak diapa-apain ‘kan sama dia?”

“Ngincer duitnya doang kali ya, yang kayak begitu masih depertahanin.”

Atau yang mendadak jadi juru nasehat. “Kamu nggak akan bisa mengubah orang lain, Jisung. Mending cari yang lain. Masih banyak cowok di luar sana yang mau sama kamu.”

Terus kenapa?

Jisung maunya sama Jeno.

Bahkan pada saat Jeno termakan bualan orang-orang, mengajukan pinta yang paling Jisung benci untuk kabulkan.

“Mereka bener Ji, mending kita udahan aja. Kamu pantes dapet yang lebih baik dari aku.”

Hatinya tak sedikitpun goyah.

Seperti baru kemarin, dirinya dan Jeno dilabeli sebagai couple goals kampus.

Yang utama, tentu saja dari segi fisik yang sama-sama rupawan.

Seperti baru kemarin, saat banyak orang menyuarakan rasa iri terhadap dirinya yang begitu dihujani kasih sayang dan dilingkupi oleh perlindungan Jeno.

Jeno selalu menjaganya.

Jeno tidak pernah menyakitinya.

Sakit yang Jeno bubuhkan pada Jisung hanyalah saat lelaki itu menyakiti dirinya sendiri.

Akarnya adalah saat retaknya hubungan kedua orangtua Jeno.

Sebagai anak satu-satunya, seluruh cinta orangtuanya berpusat pada dirinya seorang.

Tadinya.

ㅤ Sekarang, Jeno justru menjadi pusat pelampiasan papa dan mamanya.

Jeno menjadi tameng mama dari pukulan papa.

Jeno menjadi tameng papa dari bentakan mama.

Jeno menjadi target dari ratusan panah-panah pertengkaran sang papa dan mama.

Katakanlah Jeno tidak bersikap dewasa, tapi Jeno tetaplah anak orangtuanya.

Ia kekanakan dengan memberontak dan terperosok dalam jurang gelap.

ㅤ ㅤ

Jeno melingkarkan lengannya pada pinggang Jisung yang tengah merapikan wastafel kamar mandi.

Rumahnya tidak hanya hancur secara konotasi, namun juga betul-betul berantakan secara harfiah.

Seperti Jisung yang sedang membereskan rumahnya sekarang, Jisung juga yang selalu membereskan semua tingkah begajul Jeno.

Contohnya tadi malam. Meskipun ingatan Jeno berhenti pada peristiwa dirinya melampiaskan emosi dengan orang asing di club, namun Jeno yakin, yang mengurus masalah yang dibuatnya itu adalah si pria dalam rengkuhan.

Jeno mengecup pelan tengkuk Jisung, tangannya memeluk erat, seperti mencegah pergi takut ditinggalkan.

Netra sayunya melirik pada alat cukur di genggaman Jisung untuk ditata dalam kabinet.

Jisung menunjukkan sedikit raut bingung tatkala Jeno mengambil alih barang itu ke tangannya.

Sedikit tersentak, saat Jeno membuka tempat baterai dan menumpahkan seluruh isinya ke lubang wastafel.

Obat-obatan terlarang.

Jisung sudah melenyapkan semua yang Jeno simpan. Walaupun dalam diam, ia sebenarnya tahu, Jeno masih menyembunyikan beberapa.

Rasa kejutnya lebih karena Jeno sendiri lah yang beritikad untuk membuang barang yang menjadi candunya beberapa bulan belakangan.

Jisung memutar tubuhnya, menghadap pada Jeno yang menatapnya dalam.

“Aku mau rehab.”

Tiga kata.

Tiga kata yang sukses membuat air matanya pecah. Ia menarik Jeno ke dalam dekapan. Mengelus punggung lebar sang kekasih, memberi kekuatan, ia tahu ini berat dan tidak akan mudah.

Menghaturkan banyak terima kasih. Terima kasih karena mau berhenti menyakiti diri sendiri.

Pelukannya erat, memberi tahu bahwa apapun yang terjadi, Jisung akan selalu di sisinya. Akan selalu memeluk dengan sama eratnya.

Mungkin, mereka bukan tercipta dari kepingan beling-beling.

Mungkin, Jeno dan Jisung terjelma dari kelopak bunga-bunga sakura. Pada tiupan angin hangat bulan Maret. Kelopaknya tidak pernah sendirian.

Seperti bunga sakura mekar pada pergantian dari dinginnya musim.

Setelah ini, dalam jejak langkah baru dengan jemari yang saling terkait, yang ingin Jeno lihat hanyalah senyum merekah dari bibir manis Jisung.