Berteduh
Hugo Kampus terang benderang sih Arjuna Kosan gerimis otw deres Hugo Sok memprediksi cuaca lu, emangnya BMKG?
. .
Zendra menutup ponselnya, kembali memfokuskan atensi pada lelaki yang sedang duduk di sebelahnya.
“Beneran mau nungguin sampe reda aja?” ucap Zendra sembari menggenggam tangan Zidan yang sedari tadi digosok-gosok oleh sang empunya akibat kedinginan.
“Huum.” Zidan hanya menggumam pelan lalu menyandarkan kepalanya ke bahu sang pacar.
Mereka baru saja menyelesaikan tugas sebagai kurir paket dagangan Leo, guna menebus rasa bersalah sudah ciuman sembarangan di tangga kos-kosan.
Berangkatnya pakai motor Zendra, jadilah hanya bawa satu jas hujan di jok motor. Zendra sudah menawarkan untuk mengorbankan diri, biar dia saja yang kebasahan. Toh, tadi hujannya masih belum deras-deras amat, waktu tempuh kos mereka juga kalau mode ngebut, tidak sampai dua puluh menit. Tapi, tentu usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Zidan.
Gitu-gitu, dia juga sayang banget sama pacarnya.
“Sayang…”
Nah, ini dia.
Ngomong-ngomong soal sayang, Zendra belakangan sedang belajar panggilan mesra—di luar kegiatan ranjang—. Zidan masih belum terbiasa, bukannya tidak suka, dirinya hanya merasa kelewat salting kalau dipanggil seperti itu.
“Sayang ih, dipanggilin diem aja.” ㅤ
“Iyaaa, kenapa, Sayang?”
Sekarang giliran Zendra yang terdiam, sibuk menahan cengiran lebarnya hanya karena dipanggil sayang.
Zidan memukul perut pacarnya pelan, terkekeh geli melihat Zendra yang kegirangan. “Nggak jelas lu!” ㅤ
“Ji, inget nggak? Kita pertama kali ketemu waktu kamu dateng ke kos itu juga hujan-hujan kaya gini.”
Zidan menjawab dengan anggukan kepala.
“First impression kamu ke aku gimana?”
Tak butuh waktu untuk berpikir, Zidan spontan menjawab, “Jutek.”
Bukannya tersinggung, Zendra justru tertawa terbahak-bahak. “Itu mah karena aku grogi tau, ketemu orang gemes.”
Zidan merotasikan matanya malas, berbanding terbalik dengan telinganya yang memerah menahan malu.
“Bang, inget nggak? Kita juga pernah ngemper kaya gini di depan toko, pas ban motor aku bocor.”
Zendra menoleh ke samping, pada kepala yang sedang bersandar di bahunya. Ia memajukan wajahnya dan mengecup singkat puncak kepala Zidan. ㅤ
“Yang itu ‘kan? Inget banget, lah.” ㅤ ㅤ Aduh.
Maksud Zidan bukan bagian yang itu. Bukan bagian di mana Ia yang dahulu kala tiba-tiba mencium kening Zendra selepas ban motornya ditambal. ㅤ ㅤ
Zidan baru saja hendak menegakkan tubuhnya, namun kembali ditarik untuk tetap bersandar. “Jangan ngambek dong, nggak bakal aku ledekin, janji.”
ㅤ “Waktu itu juga kamu bikin permintaan pertama, ‘kan? Kamu masih punya sisa dua permintaan loh, lupa?”
Zidan semakin mendekapkan diri dan melingkarkan tangannya di lengan Zendra. “Buat apa? Udah nggak butuh, ‘kan aku udah punya kamu.”
Mendengar itu, Zendra rasanya ingin meleleh, melebur, membaur bersama genangan air hujan di parkiran Indomaret yang sedang mereka tumpangi untuk berteduh.
“Ya apa kek, siapa tau kamu kepingin sesuatu gitu.”
Zidan tiba-tiba mendongakkan kepalanya, matanya berbinar antusias dan bibirnya membentuk lengkungan jahil.
“Ada! Aku lagi kepingin sesuatu.”