DRAFT YISMDTM

Menjadi mahasiswa dari institut teknologi nomor satu di negeri Kwangya, Jeno sudah terbiasa menjadi kelinci percobaan dari teman-teman satu kampusnya.

Bukannya terlalu bermurah hati, tapi dalam kodratnya sebagai makhluk sosial, Jeno sewaktu-waktu juga pasti akan membutuhkan uluran tangan dari orang lain.

Maka dari itu, sedini mungkin ia banyak-banyak membantu teman-temannya, agar kelak ia dapat menuai apa yang ia tanam.

Terdengar sangat pamrih, tapi memang begitu sistemnya, memang begitu kiat-kiatnya seluruh mahasiswa dapat bertahan di kampus super elite ini.

“You ready, Bro?” Sungchan memastikan sekali lagi. Pria jangkung itu berdiri di depan controller, siap menjalankan mesin ciptaannya.

Ngomong-ngomong soal mesin ciptaan Sungchan, mesin dengan kode N23-23-S27 itu digadang-gadang mampu menembus ruang dan waktu. Menurut teori Sungchan, kemungkinannya ada dua, terlempar ke universe lain atau melesat ke masa depan.

Setidaknya itu yang Sungchan ajukan dalam proposal proyek fisika relativitas kepada profesornya. Sekaligus menjadi kalimat persuasi untuk kelinci-kelinci percobaannya.

Termasuk Jeno.

Walaupun berulang kali Sungchan menjelaskan, bahwa mesinnya hanya memberi visi pada pikiran, raganya akan tetap berada di tempat, namun Jeno masih belum yakin sepenuhnya.

Jeno merasa ngeri dengan puluhan untaian kabel fiber yang berujung memusat pada helm di kepalanya. Jeno melirik Sungchan, tubuhnya tidak bisa banyak bergerak karena diikat kuat pada kursi.

Menangkap sinyal keraguan dari Jeno, Sungchan mendengus kesal. “Ayolah Jen, cuma 15 detik and then you’re done.”

“Done or die.” Ketus Jeno.

“You are not going to die, Jen.” Kali ini Sungchan tertawa renyah, setengah mengakui bahwa wujud mesin uji cobanya lebih mirip alat eksekusi mati.

Setelah diskusi yang cukup alot, Jeno mantap untuk melanjutkan partisipasinya. Rasa penasarannya juga besar, ingin melihat seperti apa dirinya di kehidupan yang lain.

Atau masa depan.

Bermodal satu pencetan Sungchan pada sebuah tombol biru tua, otak Jeno benar-benar seperti terlempar ke dunia lain.

Sorot hologram berpendar di dalam pikirannya. Menampilkan skenario-skenario yang…

“Anjing, mampus gue.”

15 detiknya sudah berakhir.

“Udah gue bilang, lu nggak bakal mati, Jen.” Sungchan berjalan mendekati kelinci percobaannya. Melepaskan helm serta kaitan pada tubuh Jeno.

“So, objek number 04, apa yang lo lihat selama percobaan tadi?”

Jeno bangkit berdiri, mengambil barang-barangnya bersiap untuk pergi.

“Jen, meskipun lo ngeliat yang jelek-jelek, gue tetep butuh buat data pengamatan!” Teriak Sungchan menahan Jeno yang sudah di ambang pintu.

Jeno menghela napasnya malas. Ia memutar tubuh, menatap datar pada Sungchan.

“Jelek banget. Gue ngeliat Jisung.”

Sungchan membelalak kaget.

“Jisung? Jisung ngapain?”

“Nggak tau, lupa. Kepala gue sakit. Lain kali siapin panadol buat objek penelitian lo,” ucap Jeno berbohong. Langkahnya terburu-buru melenggang keluar dari laboratorium.

Ia menghindari interogasi lebih dalam dari Sungchan, sebab dia tidak akan bisa menjawab.

Jangankan lidahnya yang kelu, untuk mereka ulang bayangan yang dilihatnya tadi saja buat bulu-bulu kuduk Jeno meremang.

Bayangan bagaimana dirinya saling mengadu tatapan mesra di bawah pohon bungur bersama teman satu kamarnya yang paling menyebalkan, Park Jisung.


Menjadi mahasiswa dari institut teknologi nomor satu di negeri Kwangya, Jeno sudah terbiasa menganalisa berbagai hal secara objektif dan kuantitatif. Tapi otak rasionalnya masih cerdas berpikir bahwa hal-hal subjektif seperti hati dan perasaan tidak bisa dinilai dengan perhitungan matematis.

Maka dari itu, dalam rangka menyangkal probabilitas dirinya bermesraan dengan sang roommate, notebook di hadapannya kini penuh kalimat-kalimat deskriptif dengan nama JISUNG—in capital—di banyak sudut kertas.

Minimnya pengalaman Jeno dalam urusan cinta tergambar jelas pada goresan di buku tulisnya, pada poin-poin yang menurut Jeno adalah alasan umum saat manusia menyukai seseorang.

JISUNG Dari Segi Tampang

• Ganteng (lumayan) • Mata kecil • Hidung mancung banget • Rahang tegas, tapi pipinya soft kayak mochi. Bibirnya juga plump-

Jeno buru-buru memberikan coretan brutal super besar pada catatan terakhirnya.

• Kalo pagi bibirnya banyak bekas iler

Perlu di-re-call dan patut digaris bawahi, bahwa catatannya adalah bentuk penyangkalan.

Kalau Jeno boleh tidak menyangkal, visual Jisung sebenarnya sangat potensial.

Dengan ataupun tanpa kacamata bulatnya, wajah Jisung sejujurnya sangat tampan.

Tapi, potensi itu tidak pernah diasah.

Sebagai teman sekamar, Jeno menjadi saksi atas penampilan terburuk maupun terbaik dari Jisung.

Terburuknya tidak benar-benar ter-, karena sudah menjadi keseharian Jisung.

Jisung sengaja memadatkan jadwal kuliahnya dari pagi sampai siang hari agar memiliki waktu luang yang bebas tanpa terpotong saat sorenya.

Tapi keputusannya itu menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Bagaimana tidak jika melihat bagaimana keosnya Jisung saat akan kelas pagi.

Bangun kesiangan.

Mandi super kilat yang bahkan tidak sempat untuk menyisir rambut.

Pakaian yang diambil asal dari gantungan baju, yang bahkan Jeno beberapa kali melihat ada noda bekas saos pada kerah kemeja Jisung.

“Iya, dipake buat pagi doang, nanti pas pergantian kelas ganti baju.” Begitu jawab Jisung saat Jeno memberi tahu.

Sampai Jeno capek menegur karena kemeja itu justru dipakai Jisung selama tiga hari berturut-turut.

Soal penampilan terbaik Jisung…