Dua hal yang Jisung pikirkan saat menarik diri dari kerumunan bersama Renjun adalah; antara mendesak lelaki itu masuk ke kamar atau menghimpitnya pada sekat lorong sekarang juga.

Birahinya menulikan hingar bingar pesta. Malam ini dia dapat jackpot. Jisung beserta title playboy-nya itu selalu dapat apa yang dia mau. Laki-laki, perempuan. Bermodal gestur kecil dari jemari panjangnya, atau lidahnya yang sengaja dijulurkan, atau sesederhana kedipan sebelah mata. Semua lutut luluh lantak di bawah tubuh jangkungnya.

Pun demikian, Jisung tidak pernah memaksa. Mereka mereka-lah yang memohon. Justru yang begitu, Jisung tidak pernah merasa puas. Bukan lega, ada hampa dalam gairahnya pada tiap-tiap pelepasaannya.

Jisung sudah menaruh mata pada ketua kelasnya, Renjun, sejak keduanya berada di kelas yang sama pada tahun terakhir SMA. Pria kutu buku itu nampak sama sekali tidak terpengaruh akan presensi seksualnya.

Itu cukup menegangkan. Jisung membayangkan sensasi bercumbu dengan Renjun mungkin akan menyenangkan. Membayangkan Renjun menatapnya sayu dalam balutan kacamata tebalnya. Membayangkan Renjun dengan amatir mengulum kejantanannya. Membayangkan hidung bangir Renjun menghirup bulu-bulu pubisnya.

Malam ini dia dapat jackpot.

Pada malam terakhirnya sebagai siswa SMA, lagi-lagi, Jisung selalu dapat apa yang dia mau. Fantasinya akan Renjun menjadi nyata. Minus Renjun yang sama sekali tidak amatir, sama sekali jauh dari bayangan Jisung.

Juga banyak hal-hal lain yang jauh dari bayangan Jisung. Saat di sela-sala hisapan pada penisnya, satu jari Renjun menerobos memasuki lubang analnya.

“Renjun, what the fuck!? Gue top!”

“Gue juga.” Masih dengan satu jarinya yang tertancap, Renjun mendorong Jisung untuk merebah. “And I always be.”

Juga banyak hal-hal lain yang jauh dari bayangan Jisung. Saat telapak hangat Renjun melingkupi tonjolan di dada kanannya, memainkannya kasar, beriringan dengan lubangnya yang dikoyak semakin ganas. Lengkingan cabul dari pita suaranya sendiri yang biasanya mengerang berat, Jisung tidak pernah membayangkannya.

Jisung bisa dengan mudah memberontak. Badannya jauh lebih besar dan perkasa dibanding Renjun. Di antara banyak hal yang jauh dari bayangan Jisung, bayangan akan dirinya yang pasrah dan sama sekali tidak berusaha mengelak dari kukungan Renjun adalah yang paling tidak masuk akal.

Lebih lagi pada bisikan Renjun di samping rahang tegasnya.

“Lo sadar nggak sih, kalau cocok banget di bawah gini. Messy and sexy.”

Nyatanya, Renjun juga punya bayangannya sendiri. Di mata Renjun, Jisung tidak lebih dari anak tengil yang centil dan genit, yang sama sekali tidak punya aura dominansi. Juga, “Separuh dari orang-orang di luar kamar ini pernah lo entotin. Bayangin mereka liat lo keenakan sampe bego gini cuma gara-gara lubangnya diobok-obok pake jari.”

Jisung menggeleng kuat, mulutnya yang menganga penuh saliva, patah-patah memohon, “P-please…”

“No, no. Gue nggak akan berhenti. Gue tau lo juga mau.”

Susah payah Jisung membuka mata, menatap Renjun sayu dan kelam.

“No… Please fuck me.”

Renjun menyeringai menang. Ia bubuhkan satu kecup pada bibir Jisung.

“Cute boy.”

Of course Renjun will fuck him.

And just like that, the fuckiest fuck boy in school, Jisung, getting fucked.

And just like that, hampa dalam gairahnya dipenuhi oleh sensasi-sensasi baru yang diberikan Renjun.