Jisung hanya punya dua tempat untuk kabur. Pertama, kamar Haechan.

Jeno melesat melewati dua blok gedung asrama untuk sampai ke sana. Megap-megap berlarian menaiki tangga sebab di hari Sabtu dan Minggu semua lift dimatikan.

Sesuai dugaan, Jisung sudah pergi. Tentu saja, Jisung tahu kalau Jeno akan menghampirinya ke kamar Haechan.

Kedua, untungnya Haechan bermulut ember. Jeno betulan menemukan Jisung di samping asrama mereka. Terlalu kecil untuk disebut rawa, tapi terlalu besar untuk disebut kolam ikan. Pokoknya, genangan air buatan penuh berbatuan itu adalah tempat para mahasiswa sering melempari koin dan berdoa memohon pinta pada entitas yang tak kasat mata.

Punggung Jisung nampak loyo dan mengkhawatirkan, berjongkok pada satu batu besar di tengah. Jeno melempar sebuah kaleng yang terhubung dengan benang membentang berujung pada kaleng lain di genggamannya.

Bising keletung pertemuan kaleng dan batu sontak mengalihkan perhatian Jisung. Badannya berbalik cepat.

Sia-sia saja kekhawatiran Jeno. Anak itu, sama sekali tidak terlihat sedang sedih apalagi galau. Justru di telapaknya terkumpul beberapa keping koin setengah basah. Rupanya sedang mengutil.

Namun begitu, Jisung tetap menggapai kaleng yang diberikam Jeno. Sedikit mendengus geli, sebab telepon itu punya kenangan tersendiri. Dulu sekali, keduanya pernah bertengkar cukup hebat. Gengsi yang sama-sama selangit, tidak ada yang mau mengalah untuk mengaku salah. Hingga di satu titik, Jisung sadar bahwa memang dirinya lah yang salah. Kadung malu, Jisung malu untuk minta maaf secara langsung. Maka terciptalah alat sederhana itu. Malam-malam dia melempar satu kaleng ke ranjang Jeno yang setengah terlelap. Meminta maaf dengan cara paling unik sedunia.

Jisung tidak menyangka bahwa Jeno masih menyimpan semua ini.

ㅤ “Jadi Dewa Kodok yang disembah anak-anak tuh elo, Park Jisung.”

Jisung adalah Jisung yang selalu nyengir tanpa dosa. “Nggak baik tau buang-buang duit tuh, polusi air juga, polusi tanah! Mending gue manfaatin sekaligus menjaga keseimbangan alam.”

Jeno hanya geleng-geleng. Ia bangkit, pelan melompati bebatuan menyusul singgasana Jisung. Tangannya merogohi saku celana. Setelah menemukan satu keping koin, Jeno menyerahkannya pada genggaman Jisung. Kedua telapaknya saling mengepal di depan dada. Sambil terpejam, Jeno berucap pelan, “Dewa Kodok, tolong bikin Jisung nggak ngambek lagi sama gue.”

ㅤ Label meminta maaf dengan cara paling unik sedunia sepertinya sudah berpindah ke Jeno.

Tawa renyah dari Jisung sukses mendapat atensi penuh Jeno.

“Siapa juga yang ngambek sama lo.”

Iya juga, ya.

Ngapain Jisung ngambek sama Jeno?

Memangnya dia ini siapa?

Memangnya mereka ini apa?

Banyak pertanyaan berputar mengelilingi pikirannya. Tapi Jeno harus mulai dari yang mana?

“Jisung, lo liat apa aja pas pake alatnya Sungchan?”

Sangat to the point.

Nothing much.

Sangat no point.

“Tapi ngeliat gue juga?”

Jisung hanya mengangguk lamban. Kini jemarinya sudah sibuk bermain-main dengan air.

“Oh, jadi itu alesan lo tersipu pas kita papasan setelah ngeliat vision kedua.”

Fokus Jisung pada berudu di bawah kakinya langsung berpindah pada raut Jeno yang sedikit menyebalkan. “Gue ngeliat hal lain tuh, di percobaan kedua. Nggak ada lo.”

Eh? Sekarang gantian Jeno yang tersipu malu. Ia menunduk sambil bergumam pelan, “Jadi, beda-beda ya tiap orang.”

“Emang lo ngeliat apaan, Jen?”

Jeno berdehem. Mendadak tenggorokannya kering. “Kasih tau dulu lo ngeliat apaan. Nanti baru gue kasih tau.”

Hahaha.

Bisa-bisanya Jeno berusaha menipu Jisung dengan cara yang persis sama dengan cara Jisung menipu dirinya.

“No, thanks.”

Lantas, tidak ada lagi percakapan di sana. Jisung yang kembali sibuk mengobok-obok air. Juga Jeno yang sibuk memerhatikan Jisung yang kembali sibuk mengobok-obok air. Lama ia menatap Jisung, sampai satu pertanyaan memecah semua keheningan.

“Jisung.”

“Tapi di penglihatan lo, rambut lo putih gini juga, nggak?”

Jisung nyaris kepleset.