“Lang… Yuk, balik.” Miko berusaha selembut mungkin. Airlangga dalam mode batu seperti sekarang, tidak bisa dibujuk dengan cara yang sama kerasnya. ㅤ

“Panti asuhannya udah lama direlokasi, Mas. Pengurus yang dulu dulu juga pulang kampung semenjak anak-anak udah pada gede.”

Jadilah mereka sekarang di sini. Di sebrang pelataran rumah sederhana, yang kata salah seorang warga desa adalah rumahnya pak Prabu yang ngurusin anak-anak dulu.

Butuh waktu hingga menjelang petang demi sampai ke sini, hanya untuk mendengar sepasang suami istri berucap pelan pada Miko dan Airlangga, “Maaf, bapak sudah meninggal karena sakit paru-paru dua tahun lalu.”

ㅤ Bukan Airlangga jika terima harapannya pupus begitu saja. Ia bangkit dari jongkoknya setelah beberapa menit meratap. “Lo balik duluan aja Mik, gue mau ke Giling Batu lagi.”

Miko menghembuskan napas kasar. Ia tahu sebesar apapun usahanya untuk mencegah Airlangga, dia tidak akan berhasil.

“Minimal makan.”


Sembari memantau suasana, Airlangga duduk di sebuah warung kopi. Kepulan harum dari mangkok mie kuahnya sama sekali tidak menggugah seleranya.

“Malem-malem kok di sini sendirian, nyari apa, Mas?”

Seorang pria paruh baya mengalihkan atensi Airlangga yang kemudian melempar senyum ramah.

“Iya Pak, tadinya mau mengunjungi panti asuhan di sini, tapi ternyata udah kosong.”

“Memangnya kamu mau cari siapa?”

Airlangga hampir menyebutkan nama pak Prabu, sebelum menyadari bahwa jalannya untuk yang satu itu sudah buntu. Maka dia hanya bercerita jujur, “Oh, saya punya temen namanya Gi—Dimas yang dulu sempet tinggal di sana, Pak.”

“Dimas? Dimas yang mana, ya?”

“Itu loh Pak, yang ceking, yang dulu pernah jatoh dari pohon terus bikin geger se-RT.” Tiba-tiba saja ibu pemilik warung kopi menyahut sambil mengelapi gelas dengan serbet.

“Oalaaahhhh, Dimas pupuk bawang? Apa kabar dia sekarang?”

Entah mengapa ritme jantung Airlangga mengencang, seakan cercah harapan yang meredup kian menyala.

“Baik, Pak,” Jawabnya penuh basa-basi.

“Ya jelas baik toh ya, ‘kan udah diminta jadi anak sama orang kaya.”

Airlangga hanya diam, berusaha mencerna semua informasi.

“Siapa, Tut? Nama mahasiswa yang KKN di sini itu? Yang paling ganteng?”

“Aduh, saya juga lupa, Pak. Tanya masnya ini coba, pasti kenal, ‘kan?”

ㅤ Susah payah Airlangga menelan ludah untuk menyebutkan satu kata.

“Abiyyu?”

“Nah, iya! Abiyyu! Waktu pengabdian di panti, Dimas tuh kesayangannya Abiyyu. Sampe pas udah selesai KKN dia balik lagi ke sini buat bawa Dimas. Baik banget ibu bapaknya juga, malahan jadi bayarin semua kebutuhan panti. Itu pantinya pindah ‘kan juga biar anak-anaknya dapet tempat yang lebih bagus,” celoteh ibu pemilik warung. ㅤ


“Jadi Gio adek angkatnya Abiyyu?” Airlangga terlalu pening, sampai-sampai rasanya tak sanggup lagi manjawab rentetan pertanyaan dari Miko di telepon. Sampai-sampai satu pertanyaan tegas memecahkan kepalanya.

“Lo yakin Abiyyu bawa pulang Dimas buat dijadiin adek?”