On The Honest Side

Suara gemerincing mengiringi langkah kaki jangkung Jisung saat memasuki kafe berinterior industrial. Netranya menangkap satu sosok dalam balutan apron yang sedang sibuk mengelap meja bar.

“Waduh sorry, udah tutup, Om!”

Jisung hanya mendengus geli dan justru terus melangkah masuk, lalu menarik satu kursi untuk diduduki.

“Ada minum nggak, Jaem?”

Jaemin nyaris melontarkan gerutu, ”Ya ada lah, emang kafe gue keliatan kayak jual bensin?” Sebelum tatapannya bertubrukan dengan milik Jisung. Mata sipit lelaki itu mengisyaratkan sendu, jauh lebih redup dibanding biasanya.

Paham. Sang pemilik kafe memilih untuk memutar badan, mengambil sesuatu di ruangan belakang.

Jaemin kembali dengan sebotol soju dan sebuah gelas seloki di tangannya. Ia bergeming beberapa saat sebelum meletakkan kedua beling itu pada meja di hadapan Jisung. Banyak rasa cemas menyelimuti dadanya, mengingat sudah setahun lebih Jisung enggan sama sekali menyentuh alkohol.

Sebab alkohol lah, yang menjadi awal mula kehancuran hidupnya.

Alkohol lah, yang mengantarkan orang kesayangannya pada kepuasan yang khianat.


“Udah?” ucap Jaemin mendekati satu-satunya eksistensi pelanggan usai membersihkan dan menutup kafenya.

“Nambah lagi, dong.” Jaemin menghela napas. Dengan lembut, ia turunkan lengan Jisung yang terangkat mengangkat gelas soju.

Ia menyentil pelan kening Jisung. Betul-betul sangat pelan, sampai Jaemin terkejut, sentilannya menyebabkan Jisung oleng dan ambruk dengan wajah terkatuk meja.

Lagi-lagi Jaemin hanya mengehela napas.

Lagi-lagi Jaemin mengajukan pertanyaan yang sama, berulang setiap harinya.

“Udah? Udah pura-puranya?”

Yang ditanya masih menempelkan wajahnya pada meja, menggumam tidak jelas, sampai ritme napasnya mulai tak beraturan.

Jaemin menurunkan tubuhnya untuk bersimpuh, tangannya mengusap lembut pundak bidang Jisung yang bergetar, membiarkan lelaki itu meluruhkan semua duka yang selama ini ditahan.