Open in app Sign up Sign In

Azen Azen Follow Feb 8 · 46 min read Desire

(n) a strong feeling of wanting to have something or wishing for something to happen. tags: valentine date. fluff. a bit hot. some profanities. kinda 18+ but there’s no smut. kiss and kiiiiissss. i’m sorry if there’s something wrong about my works, i’ve done what i can. enjoy. “Ini harus banget milih?” Pertanyaan tersebut meluncur begitu saja dari mulut Sem ketika Iel menyodorkan tablet yang menampilkan bermacam foto lokasi wisata. Khusus untuk sore ini, Sem telah meluangkan waktu. Bulat sudah niatnya untuk berbaring berduaan dengan Iel sembari menikmati home theater milik keluarga Pramana. Tapi apa daya, jika sesaat setelah ia menginjakkan kaki di kamar yang serba putih itu, dirinya langsung dibombardir dengan segudang tanya. Dan salah satu topik perbincangan itu ialah memilih destinasi liburan. “Harus banget?” Iel mengangguk mantap. Dari postur duduknya yang agak dicondongkan, juga bagaimana kedua manik itu menatap lekat wajah sang jodoh, sudah jelas kalau sebuah jawabanlah yang Iel butuhkan. Tapi gerak-gerik Sem yang penuh keraguan membuat bibir si bungsu merengut. “Kenapa? Bang Sem nggak suka sama tempat pilihan Iel ya?” “Nggak gitu.” Sem coba untuk mengelak, karena bukan itu yang menjadi masalahnya. “Padahal Iel cuma mau jalan-jalan berdua sama bang Sem.” Aduh.. siapa pun tolong bantu Sem! Sebab Iel yang merajuk dengan bibir yang dibuat manyun sangat-sangat menguji keimanannya. “Sejak pulang dari liburan tahun baru, bang Sem sibuk mulu. Bikin laporan magang, bulak-balik perusahaan, ini-itu, semuanya aja bikin sibuk, kan Iel kangeeen.” Bibirnya dibuat semakin manyun. “Kangen berduaan sama bang Sem.” Percayalah, Sem juga rindu. Hanya saja menjadi mahasiswa tingkat akhir dan juga segala kegiatan di S&S Company milik Atrama membuat waktunya terkikis habis. “Gue juga kangen kok.” “Terus kenapa bang Sem nggak mau milih?” Kurva milik Iel melengkung turun. Dan sebagai tunangan yang baik, Sem serta-merta memeluk tubuh jangkung itu dari samping. Yang kemudian dilanjut dengan membanting tubuh Iel ke kanan dan ke kiri, sebelum berguling-guling di atas kasur bersprei putih. “Bang Sem jeleekk!!” Mereka masih berputar. “Iel jelek!” Dan berguling. Hingga yang lebih muda mendecak kasar sambil berusaha keras melepas tautan. “Ih,” Iel mendorong tubuh Sem dengan kaki, lantas mengambil posisi duduk dengan tatapan serius. “Itu pertanyaan Iel belum dijawab semua. Kenapa bang Sem nggak mau milih?” Kerutan di dahinya semakin menjadi. “Apa jangan-jangan bang Sem udah bikin janji sama orang lain di hari Valentine?” Semakin lama, suara Iel semakin mengecil. “Bang Sem udah nggak sayang sama Iel, ya?” Dan di titik itu, Sem panik maksimal. “Nggak, nggak gitu aduh..” gerakan tangannya tak menentu akibat kehabisan respon. “Beneran kok , gue—“ “Apa?” lirihnya. “Bang Sem beneran udah nggak sayang sama Iel? Sampe seminggu kemarin jarang banget ngasih kabar.” Shit. Ini cukup di luar dugaan bagi Sem. Memang tujuh hari kebelakang jadwalnya cukup padat, dan dia kira percakapan kecil via chat yang tiap malam mereka lakukan cukup untuk mengatasi rindu sementara. Nyatanya, tidak. Ielnya kangen berat. Maka, Sem menarik tubuh si bungsu, masuk ke lingkup teritori miliknya. Membiarkan punggung yang lebih muda bertubrukan dengan dadanya, lalu menguncinya agar tak bisa kabur. “Gue juga kangen sama lo,” bisiknya di belakang telinga. “Gue nggak punya janji sama orang lain di hari Valentine,” Sem menarik napas. “Dan gue sayang banget sama lo, Ieeelll..” Cukup sampai di sana. Sebab suara Sem yang terdengar setengah serius setengah manja itu membuat perut Iel tergelitik. “Terus kenapa bang Sem nggak mau milih?” Aduh. Untuk yang satu ini, Sem bingung bagaimana cara melisankannya. Sudah dibilang persoalannya bukan pada tempat wisata yang Iel pilih; bukan juga karena ia tidak ingin diajak melancong bersama tunangannya. Inti semua keraguannya berada pada ultimatum Nael sesaat setelah ia kepergok membicarakan top dan bot pada Iel saat tahun baru kemarin. “Siap-siap lo mati di tangan gue kalo sampe macem-macem sama adek gue,” lirikan Nael tajam, juga telunjuknya digerakan melintang di depan leher. “Nggak ada adegan dua puluh satu plus sebelum married atau titit lo gue belah dua.” Memikirkannya saja sudah membuat Sem meneguk ludah, ngeri. Nael tak pernah main-main dengan perkataannya. Sem masih sayang tititnya. Dipake ngewe aja belum pernah, masa mau dipotong gitu aja. “Lo udah izin sama Nael?” “Udah.” Jawaban Iel datang terlalu cepat. Yang entah mengapa, malah membuat Sem semakin gelisah. Dan sebagai respon, punggung Sem yang bersender di headboard sedikit menegang. Juga, tangan kakinya yang semakin mengunci, melingkari pinggang dan perut yang lebih muda. “Bang Sem tenang aja, Iel udah izin kok sama kakek, sama kak Nael juga,” paparnya. “Walau kak Nael harus Iel bujuk-bujuk dulu sampe tiga hari baru ngasih izin.” Iel mendongak, menjatuhkan kepalanya di bahu Sem. “Katanya kak Nael cuma nitip satu. Kalo bang Sem udah mulai ngelakuin hal aneh-aneh, langsung tendang aja tititnya, terus usir dari jauh-jauh.” Nah itu! Itu dia yang bikin Sem gelisah. Sem bukannya mau memvalidasi kebenaran dari frasa ngelakuin hal aneh-aneh. Kontrol dirinya untuk hal seperti itu tergolong cukup baik. Terbukti dari intensitas ciuman bibir mereka yang terbilang sangat jarang. Bahkan selama 6 bulan Iel menjadi mahasiswa, Sem hanya menciumnya sekali. Itu pun karena dia sedang lelah, rindu, butuh pasokan energi, dan setengah sadar. Tapi, mengesampingkan semua hal itu, Sem juga cuma manusia biasa. Seorang laki-laki yang mempunyai hormon selayaknya laki-laki lainnya. Dan pemikiran tentang Iel mengajaknya berlibur jauh, berdua, pun tanpa pengawasan cukup membuat sesuatu dalam darahnya berdesir. Padahal kali ini mereka juga cuma berduaan di kamar Iel. Tapi memang konteksnya tak sama, berduaan di rumah dan berduaan di tempat wisata yang sangat jauh. Ambience dan atmosfernya jauh berbeda. Kalau kata Ares, lebih dingin dan comfy buat ngew — “Bang Sem, bang Sem, bang Sem!” Khayalan Sem pecah seketika. “Bang Sem kenapa malah bengong?” Semua pemikiran tadi membuat dirinya agak… aduh, kenapa Iel tiba-tiba keliatan cakep banget. Mana posisi mereka sudah menempel. Dada dengan punggung. Dan jangan lupakan kedua tangan Sem sedang merogoh pinggang Iel yang... woah ramping banget. Ke mana saja Sem selama ini, sampai-sampai baru sadar kalau tubuh Iel— “B-bang Sem?” Suara Iel seperti tertahan di tenggorokan, terdengar lirih. Shit. Shit. Shiiiiiit…! Sem harus mengembalikan kewarasannya. “Iel, cubit gue!” “Hah?” “Cubit aja.” Iel bingung, tapi tetap menurut. Diarahkannya dua jari ke paha yang lebih tua. “Cubit di sini?” “Iy — argh.” Sakit banget ternyata. Sem tak mengira Iel akan mencubitnya dengan sebegitu kuatnya. Ya, konteksnya memang dia yang suruh sih, tapi ‘kan.. sakit banget fuck. Untungnya perlakuan itu sepadan, sebab rasa nyeri yang ada berhasil menghalau semua pemikiran lainnya. “Bang Sem gapapa? Sakit banget ya?” “Aman kok, tenang aja.” Iya.. yang keluar dari mulut sih tenang aja, tapi kelakuannya yang melepas peluk, lalu menggeser tubuh Iel ke kanan — hingga tak ada lagi kontak kulit di antara mereka — cukup menjelaskan situasi yang ada. Pun, alibinya. “Gue ke toilet dulu bentar.” Manik hitam Iel membuntuti pergerakan yang lebih tua. Agak bingung sebab gelagat laki-laki tampak tak biasa, lebih awkward. Tapi semua pemikiran itu berhasil dipatahkan oleh sebuah iming-iming. “Abis ini gue janji bakal milih tempatnya.” Tentu saja Iel senang. Bahagia banget malah. Sukses besar kiatnya dalam membujuk Sem, yang artinya liburan berdua sudah di depan mata. Tak tahu saja dia, kalau karena itu ada seorang laki-laki yang mendesah kasar di balik pintu kamar mandi. Huft. Untuk sementara, semuanya masih terkendali. Iel menghabiskan waktu menunggunya sembari berbaring telentang. Tangannya terjulur ke atas dengan sebuah tablet digenggaman. “Mana sini.” Iel melongok. Membiarkan laki-laki yang duduk bersila persis sejengkal di sisi kirinya mengambil alih tablet. Sem sengaja memberi jarak. “Ini gue pilih semau gue, kan? Bebas?” Anggukan arti setuju. Jadi, Sem mulai memilah segalanya. Tidak sendiri, karena Iel agak kepo dan ikut membaringkan kepalanya di atas paha Sem. Intensinya cuma ingin ikut melihat layar tablet, tapi… Fokus Sem fokus. Dengan satu tarikan napas, aksinya dimulai dari foto pantai, tugu, kuil.. ah, ini Tanah Lot di Bali. Bulan lalu Iel pernah bilang kalau ingin pergi ke sana lagi sehabis menonton salah satu film lokal. Tapi bosen nggak sih kalo ke Bali mulu. Sem kayaknya tiap tahun selalu ke sana. Jadi skip dulu. Di foto kedua ada gambar pohon sakura. “Jepang?” tanya Sem skeptis. “Dasar wibu!” “Ih, bang Sem lebih wibu!” “Gue bukan wibu.” “Wibuuu!” Iel tak mau kalah. “Jangan bilang lo beneran abis nonton anime?” Lirikan Sem hanya dibalas kekehan. “Karena bang Sem wibu, Iel jadi penasaran. Nyoba nonton deh.” “Yang pertama, harus berapa kali gue bilang kalo gue bukan wibu.” Nada Sem setengah jengan setengah pengen nyubit Iel. “Yang kedua, gapapa sih lo mau nonton anime juga, selama itu bukan kimi no nawa. Ceritanya bagus, no offense, cuma ya basic banget. Kalo kata Ares, cih wibu baru netas, pantes seleranya kurang.” Gagasan itu mencuat bagai hiliran angin. Begitu santai seakan tanpa beban, sebab memang tak ada maksud apa-apa. Tapi ketika Sem menoleh, pipi Iel sudah membulat, bibirnya maju dua senti, juga tatapannya tak bersahabat. Ohhhh.. tepat sasaran. “Bang Sem jeleeeekk!” Sem balas tertawa. Sejemang saja, sebab friksi yang terjadi ketika kepala Iel digerakkan, membuat paha Sem tergelitik. Fokus! Oleh karenanya, Sem menjulurkan satu tangan, mematikan pergerakan kepala yang lebih muda, sebelum menepuk-nepuknya perlahan. Sebuah tindak pencegahan. Oke, lanjut lagi. Geser, geser, geser. Foto demi foto digulirkan. Sem tidak sadar akan kecepatan menggesernya yang semakin lama makin cepat, hingga sebuah foto gedung muncul yang membuatnya bergeming dengan mulut yang menganga tak percaya. Laki-laki itu menunduk, menatap Iel dengan alis yang menyatu, sebelum kembali mengamati gambar pada tablet. “Kenapa ada foto oyo di sini?” “Bang Sem tau oyo?” Seruan Iel terdengar murni. “Kata temen Iel di kampus, kalo valentine cocoknya liburan di oyo.” Aduh, Sem harus apa? “Iel bingung apa serunya liburan di tempat itu, padahal keliatannya aja kayak hotel harga ekonomis, di mana-mana ada, tapi kata mereka coba aja sendiri. Iel jadi penasaran.” Sebenernya dia juga tak tahu menahu soal tempat itu. Sem bukan tipe yang peduli dengan hal-hal seperti itu. Nggak penting. Tapi suatu hari, Ares pernah mengatakan ini di sela percakapan mereka. “Lo ngapain sih? Nggak ada kerjaan apa?” “Gabut gue.” Sem menjatuhkan kepalanya di meja kantin. “Lo nggak kasian gitu liat temen lo gabut gini?” Tanpa mengalihkan pandang dari laptop, Ares menyalak. “Gue sibuk!” “Gue gabut.” Ares menarik napas berat sebelum menatap tajam. “Diem nggak! Sebelum gue jual lo ke oyo depan kampus.” “Oyo?” “Penginapan, buat tidur, ditidurin, atau nidurin.” Dan Sem masih cukup pintar untuk memahaminya. “Nggak ada ya oyo-oyo.” Si bungsu baru saja ingin membuka mulut, tapi Sem langsung menyela. “Nggak.” Lantas rengutan yang lebih muda semakin menjadi. Kepalanya digerakkan ke kanan dan kiri. Ada juga saat-saat di mana tengkorak Iel menyundul perut datar Sem. Yang mana membuat desisan rendah meleber. “Iel.” “Apa?” Dia mendongak ketika Sem bangkit berdiri. “Bang Sem ngapa—” “Ssst, biarin gue milih dengan tenang.” Mata Iel berkedip. “Yaudah cepetaaan... biar Iel bisa kasih tau kakek buat nyiapin semuanya.” Oke, baguslah. Sem tidak bisa berada di situasi ini selamanya. Otaknya lagi agak konslet. Lagipula sedari awal dia sudah punya keputusan. Geser-geser hanyalah sekedar formalitas, menghargai semua pilihan yang Iel beri. Karena pada akhirnya, Sem memilih. “Ke Jepang aja.” “Yeeey! Bang Sem wibuuu!” Ya, wibu jadi-jadian. Penerbangan mereka ke Jepang bisa dibilang normal-normal aja. Sebelum berangkat, Nael mengoceh ini dan itu, jangan ini dan jangan itu, blablabla… bahkan sempat mau ikut yang langsung ditindak protes oleh Iel. “Nggak boleh! Kakak jangan nganggu acara adek sama bang Sem! Kan adek udah minta izin. Hush.. hush.., kakak sama kak Ares aja.” Sem hanya terkikik melihat interaksi kakak-adek yang sangat normal itu. Sampai suara bisikan tegas Nael terdengar di telinga. “Jagain adek gue. Gue nggak mau denger ada kejadian yang... lo tau lah sendiri.” Jeda. “Gue yakin lo masih inget apa yang gue bilang pas tahun baruan kemaren.” Lagi-lagi, Nael dengan sisi protektifnya. Dan itu terasa amat normal. Saat di pesawat juga masih tergolong normal, kecuali untuk jenis maskapai yang digunakan. Karena biasanya keluarga Pramana lebih senang menggunakan pesawat pribadi ketimbang maskapai umum seperti ini. Yah, sudah bisa ditebak siapa yang mengajukan permintaan seperti ini. Pelakunya sih senang-senang saja, duduk di samping Sem sambil mengaggumi pemandangan awan di luar jendela. Memang sengaja mereka memilih jam terbang di siang hari. Alasannya sederhana, karena… yap betul, karena Iel pengennya begitu. Di sini, Sem cuma mengikuti kemauan Iel. Iel mau berangkat siang, ayo aja. Katanya sih biar sampai di tujuan malam-malam, terus bisa langsung bobo di hotel. Iel juga mau liburan 3 hari, ayo aja. Tepatnya 3 hari 4 malam. Mulai dari malam nanti, 13 Februari, hingga 16 Februari. Iel mau apa lagi? Ayo aja, Sem jabanin. “Bang, bang, liat tuh bentuk awannya lucu…” Sem mencondongkan badan ke arah jendela, tapi aksinya tertahan ketika Iel melanjutkan kata, “…mirip titit.” “HEH!” Tanpa pikir panjang, Sem menyentil dahi jodohnya. Membuat rengutan keluar dengan panjang. “Tapi ‘kan beneeeer! Mirip itu.” “Tapi nggak disebut juga.” “Tapi kata temen Iel, kita udah besar jadi gapapa kalo ngomongin masalah pertititan.” Astagaa, cepet panggil dukun beranak, Sem butuh moral support. Masalahnya ini di pesawat umum. Ada penumpang lain, bukan cuma mereka dua. Tau gini mending naik pesawat pribadi. “Siapa tadi nama temen lo?” “Kenapa emang?” “Mau gue laporin ke Ares sama Nael biar dikasih paham.” Untungnya kali ini pikiran Sem sedang berada di stase normal. Kondisi yang seharusnya; kondisi yang waras, di mana dia bisa berpikir jernih. Tapi memang di dunia ini ada saja yang namanya cobaan. Belum ada satu jam mereka tiba di Narita Airport, Tokyo, masalah sudah muncul. Tepatnya ketika baru selesai mengurus imigrasi, saat Sem sedang menunggu bagasi. Ielnya hilang. Iya, HILANG. “Iel?” Sem celingukan. “Ieeel!!!” Seingatnya, semenit yang lalu, si bungsu Pramana masih ada di belakangnya. Menyandar di tiang besi sembari menunggu koper mereka. Tapi sekarang… ANAKNYA NGGAK ADA! Iel hilang. Bagasi belum keluar. Dan ini sudah jam 9 malam. “Shit.” Harapannya semakin pupus dikala panggilan telepon gagal mendapat jawab. Panik Sem dibuatnya. Buru-buru, ia mengeratkan jaket berbulu kemudian pergi meninggalkan konveyor bagasi. Bodo amat koper, Iel lebih penting. Tanpa banyak pikir, laki-laki Atrama tersebut langsung menyambangi lobi. Memasuki kawasan yang tidak terlalu ramai, pun tidak terlalu sepi. Sem bisa melihat variasi manusia di sana. Sepasang turis bule yang dia yakini berasal dari negara tropis, karena satu set kemeja pantai tipis melekat di tubuhnya padahal di sini sedang musim dingin. Ada juga warga lokal yang baru pulang berlibur, dilihat dari jumlah koper dan kardus yang pastinya berisi oleh-oleh. Ada juga yang celingukan karena baru pertama kali datang. Namun, dari puluhan orang di sana, Sem tidak bisa menemukan Iel. “Kacau,” resahnya. “Iel, lo di mana?” Tak mungkin ‘kan, anak itu diculik sesaat tiba di Jepang? Enggak, enggak, enggak. Angka kriminalitas di Jepang termasuk rendah, dan juga.. ORANG GILA MANA yang mau menyerahkan diri karena perilaku tindak jahat di bandara dengan tingkat keamanan tinggi seperti ini! “Fuck.” Sedari tadi hanya umpatan yang menyembur. Otaknya terlalu kalut untuk menyusun kata. Bahkan, alunan boarding announcement di sepanjang koridor tak diacuhkannya. Begitupun dengan papan LED bertuliskan Welcome to Japan. Isi kepala Sem cuma Iel, Iel, Ie — “IEL!” Sem pasti tidak sadar dengan pekikannya yang meloncat satu oktaf. Rasa khawatirnya meledak, lalu berubah menjadi serpihan lega ketika ekor matanya menampilkan sosok yang familiar di luar bandara, sedang berjongkok di balik pintu geser kaca. “Iel.” Sem lantas mendekap tunangannya dari belakang. “For fuck sake Iel, jantung gue hampir mati rasa gara-gara panik.” Dia menjatuhkan wajahnya pada punggung si bungsu yang terlapisi sweater krem. Tapi dibanding mendapat seruan “bang Sem!” atau lonjakan kaget sebab dipeluk mendadak, telinganya malah menerima bunyi bersin. Sekali, dua kali, tiga ka—hatchu! “Lo sakit?” Tubuh Iel diputar, dan hidungnya terlihat sedikit memerah. “Kedinginan, huh?” “Bukan.” Gelengan Iel terhenti ketika bersin menghampiri. Laki-laki itu kemudian menggeser sedikit tubuhnya, demi memperlihatkan asal-muasal gejala. “Kucing.” Astaga.. entah sudah berapa kali Sem menyumpah hari ini. “Lo. Alergi. Kucing.” Sem menekankan setiap kata, menandakan kalau lisannya bukan sekedar gurauan belaka. Tapi bukan Iel namanya kalau langsung kehabisan respon. Malahan anak itu membalasnya dengan cara dan nada yang sama persis. “Iel. Suka. Kucing.” Si bungsu bersidekap dalam jongkoknya. “Bang Sem. Jangan. Ngatur. Iel.” Yang lebih tua dibuat berkedip berkali-kali. Manusia mana yang berpura-pura merajuk ketika dirinya mendadak hilang dan ditemukan dalam keadaan menyulut alergi? Tapi Sem mana bisa marah kalau Ielnya malah mengerutkan hidung lucu sebab gatal, serta warna bibirnya yang mulai pucat karena dingin. Maka, tanpa membuang lebih banyak sekon, Sem menarik Iel masuk ke lobi. Melangkah kembali ke ruang ambil bagasi dengan tangan yang saling terkait. “Kenapa tadi tiba-tiba pergi?” Sem menoleh sebentar. Dalam hatinya, dia sudah mempersiapkan banyak tabah jika jawaban Iel sulit diterima insting bertahan hidupnya. Contoh paling mudah: tadi Iel bosen, makanya biar seru Iel pergi, ceritanya lagi main petak-umpet sama bang Sem. Hehe.. Tidak ada yang bisa mengira apa yang dipikirkan Iel saat menghilang tadi. Terlalu banyak probabilitas yang bisa terjadi. Tapi pada kenyataannya, Iel itu cuma sosok yang simpel dan sederhana. Baik dan juga mudah ditebak. Dan itulah yang membuat Sem semakin jatuh. “Tadi Iel liat ada anak kecil yang kebingungan, mukanya udah mau nangis. Jadi Iel samperin deh.” Si bungsu menjelaskannya secara perlahan, persis seperti sedang mengobrol dengan bocah sepuluh tahun. “Taunya dia nyariin orang tuanya yang hilang nggak tau ke mana. Jadi Iel bantuin. Terus pas mau balik lagi, ada kucing lucu di luar.. hehe..” Yup, tipikal Iel. Kalau gini, gimana caranya Sem bisa marah? “Tapi lain kali bilang dulu.” Langkah mereka berhenti tepat di depan konvayer. Sebuah kurva tercipta tatkala Sem menangkup wajah jodohnya. Memang pada dasarnya, tak ada perasaan marah yang meluap, dia cuma — “Gue nggak mau lo kenapa-napa lagi.” —Sem cuma khawatir. Sem hanya takut kejadian yang lalu-lalu terulang kembali. Apalagi kejadian Acar yang menyentuh miliknya. “Maaf.” Dan seperti biasa, Iel akan mengulangi kata maaf sampai Sem mencubit bibir yang agak pucat itu. Lembut. Shit! Agaknya, kejadian tadi membuat kenormalan Sem memudar sedikit. Dia butuh pengalihan isu. “Udah, nggak usah dipikirin lagi.” Sem memalingkan pandang. Tangannya dicekakkan di pinggang, pun fokusnya ditujukan pada tas yang berlalu lalang di atas besi berjalan. “Mending sekarang mikirin koper yang masih belum keliatan congornya.” “Kalo ilang gara-gara ditinggal kelamaan gimana?” Enam puluh menit telah terlewat sejak awal Iel hilang. “Tinggal lapor petugasnya.” “Bakal lama nggak? Iel pengen cepet tiduran di hotel.” Sem bergendik, “Tergantung.” “Yaudah, kalo lama biarin aja.” Hah? Sem tidak bisa untuk tak menoleh. “Isi kopernya kan cuma baju. Kita beli lagi aja besok.” Iya sih. Simpel, sederhana, dan mudah ditebak. Tapi nggak boros begini juga! Nikmat Tuhan mana lagi yang bisa disandingkan dengan bangun pagi dalam keadaan dipeluk tunangan sendiri. Sem dapat menjamin kalau napas hangat si bungsu yang menerpa ceruknya lebih berguna daripada penghangat ruangan dalam melawan dingin. Bahkan sinar matahari kota Tokyo yang menyusup lewat jendela super besar tak dapat mengalahkan kehangatan ini. Jangan lupakan tangan dan kaki panjang Iel yang melingkar di sepanjang tubuhnya, memberi tambahan sensasi dan juga berat. Untuk sesaat, Sem menikmati suara napas yang berhembus teratur; menikmati pemandangan apik dari struktur wajah Iel yang begitu indah sampai sebuah pemikiran gila khas anak laki-laki puber berkecamuk. I want to kiss him. “Shit.” Sem bisa saja melakukan ide itu jika dia mau. Status mereka jelas, bertunangan. Hanya saja dia sedikit ragu dengan hal yang akan terjadi selanjutnya. Pagi hari yang dingin, berduaan di hotel, dan ciuman, tampak seperti kombinasi yang mematikan untuk seorang Sem. Jadi, dengan sisa kewarasan, Sem memilih untuk bangkit menjauh. Bergerak perlahan agar tak membangunkan kesayangannya. Namun, vokalnya meringis ketika dia mengangkat kepala. Sebab ada sensasi berat yang dirasa. Seakan-akan kepalanya telah ditabrak oleh dua truk berturut-turut. Bukan, bukan. Bukan secara harfiah, melainkan denyutan serta pening tiba-tiba menyerangnya. Mengingatkan Sem akan kejadian semalam. Ketika Iel merengek lapar tapi tak mau makan makanan hotel. Alhasil, pukul sebelas malam mereka kembali mengeratkan jaket, turun dari kamar di lantai 32, dan meneksplorasi daerah sekitar. “Mau makan apa?” tanya Sem tanpa memalingkan tatap dari menu. Sementara itu, Iel masih mengeksaminasi interior Izakaya yang di dominasi kayu. Berkesan tradisional dengan lentera kertas yang menggantung, kipas kayu besar yang berputar di langit-langit, dan juga penerangan yang remang. Bisa dibilang ini baru kalo pertama Iel makan di sini, sebab biasanya kak Nael dan kakek selalu membawanya ke famiresu kelas atas. Bukan tempat sederhana dengan belasan pelanggan lain yang saling bersenda gurau, menciptakan suasana hangat di tengah dinginnya Tokyo. “Iel makan apa aja,” jawab Iel sembari menengok pada Sem yang duduk di sebelahnya. Garis dahinya berkerut saat melihat kertas menu. “Itu bahasa Jepang semua, emang bang Sem ngerti?” Sebab memang benar kalau tak ada alfabetik internasional di sana. Tapi Sem tampak tak terganggu sedikit pun. “Santai aja, gue jago kok. Lo mau pesen apa? Makanan berat atau ringan?” “Apa aja.” “Ada sashimi, yakitori, karaage—” “Yang enak!” Haduh, Iel, Iel. Akhirnya Sem harus sedikit memutar otak. “Iel laper banget atau laper dikit?” Yang ditanya berpikir sejenak. “Laper banget.” “Mau yang brrrr atau shhh haa..” O..ke, butuh waktu untuk mencerna kalimat itu. Dan Iel butuh satu setengah menit. “Jangan yang brrr, Iel udah dingin, nanti makin dingiiiin.” Sem mengangguk. Lantas memanggil pelayan dengan cara yang membuat Iel terkagum. Sebenarnya yang Sem lakukan cuma sekedar mengangkat tangan dan melayangkan bahasa Jepang. Tapi segala sesuatu yang baru pertama didengar tampak memiliki kekuatan magis yang memikat. Pun kelancaran dan logat Sem yang candu, berhasil membuat Iel berdecak. “Woaahh!” Bayangkan saja seorang Sem, mengatakan ‘sumimasen' dengan suaranya yang berat namun lugas disaat yang bersamaan. Iel dapat merasakan bintang jatuh saat mendengarnya. Mengagumkan. Kalau bisa, Iel ingin mendengarkannya setiap saat. Sama seperti ketika laki-laki Atrama itu berbincang kecil dengan pelayan seakan dia telah tinggal di Jepang selama bertahun-tahun. “Bang Sem kok jago?!” Sem mengendikkan bahu, pura-pura menahan senyum. “Bare minimum, standar Atrama,” katanya tenang. “Gue sering diajak ketemu sama klien dari Asia timur, salah satunya Jepang. And that’s it.” Laki-laki yang lebih tua menoleh sekilas, lalu kekehan ringan menyembur karena tatapan berbinar ala-ala anak anjing yang menyambut dirinya. “Lo juga belajar bahasa baru dong,” dia menoyor pelan dahi Iel, “minimal lancar Inggris sama satu bahasa lain, biar nggak diremehin sama orang lain. Relasi kakek lo lebih luas lho, reputasi Pramana juga lebih gila lagi. Jangan sampe orang-orang nganggep lo ‘dia mah hoki doang, lahir di keluarga kaya, aslinya nggak bisa apa-apa'.” Perut Iel keroncongan, tapi dia masih bisa menangkap apa yang Sem maksud. Jadi dia menangguk cepat. “Iyaaa! Nanti Iel bakal belajar banyak! Ntar Iel minta kak Nael cariin tutor yang bagus.” “Ngapain nyari? Sama gue aja?” “Kalo sama bang Sem malah jadi pelukan.” “Kan sekalian. Berenang sambil minum air.” “Keselek dong?” Gelak tawa laki-laki yang lebih tua spontan pecah. Tepat bersamaan dengan kedatangan makanan mereka—dua mangkuk panas nabemono. Aroma kuah miso yang autentik dengan potongan daging, tofu, dan sayuran segera menguak masuk penciuman. Mata Iel berkilauan. “Ini makanan pokok orang Jepang di musim dingin,” jelas Sem seraya meraih sumpit. “Selamat makan.” Malam itu berlangsung cukup normal. Iel menghabiskan makanannya dengan lahap. Kombinasi sup hangat dengan cuaca yang dingin membuat semuanya terasa lebih nikmat. Sampai di satu partikular waktu, minuman ditawarkan, dan… “Iel pengen nyobain sake.” …kacau sudah. “Kalo bareng kakek sama kak Nael pasti nggak dibolehin.” Sem menyipitkan mata. “Emang kalo bareng gue bakal gue kasih?” Tapi Iel tak menyerah. “Bang Sem…” Nadanya memelas, bibirnya maju, pun pipinya dikembung-kempiskan. “Boleh yaaa.. bang Sem kan baik—” “Nggak.” “Bang Seeemm.” “Nggak boleh Iel, kita belum ada 24 jam nyampe, badan juga belum fit, ntar bisa tumbang kalo minum alko—” “Nanti Iel kasih cium.” WHAT THE FUCK?!!! “Kalo bang Sem bolehin Iel nyobain sake, nanti Iel cium satu kali. Boleh yaaa?” Empat sekon. Sem butuh empat sekon untuk menyatukan pikirannya yang hancur berkeping-keping. “Bang Sem?” Iel melambaikan tangannya, sebab Sem tiba-tiba bergeming ditengah lakunya yang sedang menyuap daging. “Kenapa diem? Kurang ya kalo cium sekali doan—mmmh..” Mulut Iel langsung dibekap tangan Sem. “Iya, iya kita pesen sake tapi lo jangan ngomong yang aneh-aneh.” “Apa yang aneh? Kan cuma ciuman? Iel sama bang Sem juga udah pernah kan, dua kali.” SUMPAH!!! Sem nyerah dibuatnya. Ke mana Ielnya yang polos dan murni. Kenapa malah jadi begini? Terdengar nakal dan menggoda iman. Kenapa juga, begininya pas mereka lagi berduaan di Jepang? Aduh.. Sem bahkan sempat berpikir kalau ini tanda-tanda akhir zaman. Ielnya astaga.. tolong. “Kata temen Iel cara bujuk pacar yang paling ampuh itu dicium. Di drama yang Iel tonton juga gitu.” Muka Iel yang kelewat polos saat menjelaskan semakin membuat Sem memaki dalam hati. Ingatkan Sem untuk menyuruh Ares menghajar teman kuliahnya Iel. “Udah, udah nggak usah dibahas. Gue udah pesenin sake tuh,” ujar Sem cepat. “Sebotol, puas kan lo!” Iel nyengir, senang. Ujung-ujungnya, Iel cuma bisa menghabiskan tiga gelas kecil. Wajahnya langsung berubah merah serta kepalanya terantuk di atas meja. Setengah mabuk, ditambah kelewat pusing. Memang toleransi Iel rendah. Sedangkan Sem, laki-laki itu berhenti di gelas yang keenam. Sengaja menahan diri, sebab dia harus membopoh Iel kembali ke hotel. Kalau Sem ikutan tipsy, bisa gawat. Lihat saja keadaan Iel yang… “Terbaaaang! Iel bisa terbang.” …malah mengepakan kedua tangannya saat berusaha digendong oleh Sem. Untungnya, tidak ada hal suram yang terjadi selain hampir jatuh karena Iel terus-menerus bergerak dan berteriak, “wiiii terbang,” di sepanjang perjalanan. Dan bagai mesin yang kehabisan daya, si bungsu langsung berubah ke mode tidur setibanya di kamar hotel. Huft, syukurlah kejadian yang Sem takutkan tidak terjadi. Masih aman. Meski begitu, efek sampingnya tetap terasa sampai pagi. Sudah empat puluh lima menit sejak Sem terbangun, tapi isi kepalanya masih bersorak-sorai. Iya, Sem sudah melakukan berbagai cara untuk menghilangkan hangovernya. Dia sudah duduk bersemedi selama lima menit. Sudah juga minum air putih. Berendam di air hangat pun tak lepas dicobanya. Namun tetap saja, perasaan pusing yang unik ini masih melekat. Pusing banget, soalnya panorama Iel yang masih terlelap itu lucu maksimal. Pipi putihnya yang terendam di bantal, poninya yang turun sampai ke mata, juga bibirnya yang minta diciu— Shit. Sem meneguk ludahnya. Dia pasti sudah gila. Salahkan saja hormon pagi hari dan kejadian tadi malam. Kewarasan Sem yang sudah terkikis itu langsung hilang separuh. Memang benar kata Ares, suasana hotel itu berbeda. Sem jadi berpikir, apa dia bisa menahan semua setan penggoda napsu untuk tiga hari ke depan? Sem masih sayang tititnya. Bisa. Harus bisa. Toh cuma mengontrol diri, Sem sudah terbiasa. Masalahnya, gimana kalau Ielnya yang tidak koperatif seperti tadi malam? Bisa-bisa macan yang tertidur dalam tubuhnya langsung bangkit dan menerkam Iel. “Bang Sem.” Yang dirujuk tersentak dalam duduknya. Suara serak pacarnya sukses menarik seluruh atensi. “Udah bangun?” Pandangan Sem bertabrakan dengan manik sayu Iel. “Eum..” Tangannya dibawa mengelus surai yang lebih muda. Semua itu Sem lakukan secara alami, seakan pemikiran kotor dalam alam bawah sadarnya tak pernah terjadi. Kontrol dirinya patut diacungi jempol. “Masih pusing?” Iel menggumam rendah. “Yaudah kalo gitu tiduran dulu aja.” Untuk yang satu itu, Iel menolak. Dalam satu hentakan, Iel sudah terduduk di atas sprei abu, lurus menghadap Sem. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan, sebab gerakan mendadak itu melipat gandakan rasa pening yang ada. “Pusing.” “Kan udah gue bilang tiduran aja dulu.” Dan semua sensasi itu membuat Iel refleks meraih sesuatu untuk digenggam—tanpa sadar bahwa yang ditariknya adalah kaos oblong Sem. Pun, dahinya yang jatuh bebas pada bahu yang lebih tua. Sem sendiri hanya berkedip layaknya robot bobrok yang tidak bisa menerima lebih dari tiga perintah. Bernapas, berkedip, dan kontrol diri. Hingga dua puluh menit berlalu, kedua anak laki-laki itu masih bergeming. Sama sekali tak ada yang melakukan pergerakan yang signifikan. Hening. Menikmati guliran waktu yang mengalir di udara. “Betah banget?” Sem membuka suara disaat Iel menyamankan posisi, menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher Sem. “Jangan tidur lagi, jadi mau jalan-jalan, kan?” “Eung,” Iel menggumam pelan, “Bang Sem wangi apel, Iel suka.” Mati-matian Sem menahan napas sebab Iel terus mengendus ceruknya. “Iel...,” geramnya rendah. Sensasi menggelitik yang terjadi membuat Sem mendorong tubuh Iel menjauh. “Udahan ah, geli.” “Ih, Iel suka wanginya.” Yang lebih muda merajuk, tapi Sem tak akan terkecoh. “Mending lo mandi sana, itu wanginya dari sabun hotel yang gue pake, nempel banget.” “Lah,” alis si bungsu terangkat tinggi. “Bang Sem udah mandi?” “Udah tadi.” Si bungsu baru sadar kalau jodohnya sudah rapi dengan setelan kaos oblong putih, kemeja biru panjang yang tak dikancing dan celana jeans yang senada. “Kok curang?” “Lo lama bangunnya.” “Yah, padahal Iel mau ngajakin mandi bareng.” Shit. Sem hampir mati karena tersedak ludah sendiri. Sementara Iel, si bungsu Pramana itu malah tersenyum seakan tak bersalah. “Hehe, Iel mandi dulu.” Dan… anaknya kabur. Meninggalkan Sem yang masih terdiam di atas kasur dengan ekspresi dongkolnya. Namun belum ada sepuluh detik, suara krek khas pintu terbuka kembali terdengar. “Ngapain keluar lagi?” Sem menatap tajam. “Ada yang ketinggalan,” balas Iel santai. Oh.. jangan sampai Iel keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk. Sem bisa benar-benar gila. “Nyari apa sih” Sem bertanya, lagi. Sebab sedari tadi Iel sibuk grasak-grusuk ke sana ke mari tanpa mengambil satu barang pun. Langkah Iel terhenti di tepi kasur. “Eum itu.. ada yang ketinggalan.” Entah mengapa, tone suaranya lebih pelan dari biasanya, terdengar malu-malu dan Sem cukup yakin kalau ada sesuatu yang janggal di sini. Sayangnya, otak bobrok Sem di pagi hari tak dapat mengidentifikasi gelagat yang lebih muda. Malahan Sem cuma mengangkat alis saat Iel mencondongkan badannya, dan… Chup. …kecupan singkat dicuri, tepat di belahan bibir milik Sem. “Itu buat janji Iel yang semalem.” Selepasnya, si bungsu langsung ngibrit ke kamar mandi. IEL BANGSAT!!!!!! Itu ciuman pertama Sem setelah hampir 4 bulan mengontrol diri. “Lo jangan macem-macem lagi, Iel. Kecuali lo mau gue terbangin balik ke Indonesia.” Ancaman Sem cukup ampuh untuk membungkam Iel. Laki-laki yang menggunakan hoodie hitam hasil memalak koper tunangannya itu cemberut kesal. Melihatnya, Sem cuma geleng-geleng, tapi ini sepadan untuk tindak pencegahan. Ya, bagaimana tidak? Kejadian pagi tadi di kamar hotel itu satu hal. Lain lagi dengan insiden dua puluh menit lalu. Di mana mereka menyewa dua sepeda, demi mengelilingi jalanan Shinjuku siang itu. Matahari bertengger terik di atas kepala, meski begitu tak ada yang bisa menghentikan dua anak laki-laki yang sedang dimabuk asmara. Mengayuh sepeda di jalanan kecil, melewati pemukiman warga, bak film romansa klasik. Lagipula temperatur udara di akhir musim dingin Jepang masih berada di angka 12 derajat celcius. Masih termasuk dingin untuk ukuran orang Indonesia. Jadi, berolahraga kecil seperti ini cukup membantu untuk menjaga hangat. “Bang Sem tungguin Iel!” “Katanya atlet basket, kok ngasih sepeda lemot gitu.” Keduanya tersenyum sembari melempar tawa. “Liat nih Iel bisa lebih cepet dari bang Sem.” Sepeda roda dua dengan keranjang di depan berwarna silver yang dinaiki Iel melaju kencang. Membelah jalan setapak yang ukurannya hanya selebar satu mobil. Kabar baiknya, rute yang mereka tuju tidak banyak dilewati kendaraan. Rumah warga dengan pohon-pohon kecil di halaman depan, toko roti yang mengeluarkan aroma panggangan tepung, plang toko mini bertuliskan kanji di pinggir jalan, serta beberapa warga lokal yang berjalan kaki. Semua itu membuat perasaan Sem kembali hidup. Memang, Sem sudah beberapa kali mengunjungi negeri pohon sakura, tapi untuk yang kali ini, rasanya berbeda. Apalagi dengan lengkungan kurva di wajah Iel yang membuat segalanya menjadi lebih spesial. “Coba kejar Iel,” serunya sembari menoleh ke belakang, “pasti bang Sem nggak bisa.” “Kata siapa?” “Kata Iel tadi.” Sem mengencangkan bahunya. “Yang sampe di tujuan duluan, dia yang menang.” Dan sepeda melaju kencang. Segalanya baik, saling susul menyusul, sampai— “Udah deket, Iel pasti bakal menang.” —si bungsu merasa terlalu senang dan akhirnya, “Iel awas!” Brak! Tiang listrik ditabrak. Iel jatuh. “Kan, udah dibilang hati-hati, jangan cepet-cepet.” Tentu saja, Sem segera berjongkok, menghampiri si bungsu yang terduduk di aspal. “Ih, jangan marah dulu, lutut Iel sakit.” Dan ya, Sem tidak marah. “Iya Iel, mana sini biar gue liat.” “Ini.” Dengan telaten, Sem memeriksa. Digulungnya celana kain abu yang Iel gunakan, hingga kulit lutut berhasil terekspos. “Ini mah cuma merah doang elah, nggak luka nggak lecet, gapapa itu.” “Tapi sakit.” Iel cemberut. “Tiang listrik jeleekk!!” Melihat tingkah pacarnya yang teramat lucu, Sem sontak terkikik. “Mau dibeliin obat?” Dahi Iel mengerut sejenak, tampak memikirkan sesuatu. “Nggak usah…” Sekarang, jidat Sem yang mengkerut. “…dicium aja, pasti sakitnya ilang.” Sem kehabisan kata. Benar-benar kehabisan kata. “Sekali lagi lo ngomong cium, gue cium sampe abis napas.” Ultimatum dikeluarkan. Berharap dengan ini, Iel mau diajak bekerja sama demi kontrol dirinya. “Ayo cepetan, udah mau nyampe.” Iel merengut, tapi tidak menolak saat Sem meraih tangannya. Ngomong-ngomong, sejak insiden jatuh, keduanya memilih untuk berjalan kaki, toh sudah dekat. Dan tentang lutut Iel, rasa sakitnya sudah memudar sejak dikompres air dingin—Sem yang mencarinya di warung terdekat. “Kita ngapain ke sini?” Pertanyaan Iel murni karena ingin tahu. Jujur saja, ketika berlibur ke Jepang, Iel lebih sering menghabiskan waktunya di pusat kota, bukan melihat gerbang kuil kayu yang merah besar yang bentuknya mirip dengan huruf ‘n' kecil. Tak jauh dari sana, manik Iel langsung dihadapkan dengan semacam jembatan kayu berpagar merah, yang jika ditelusuri akan tertuju pada bangunan satu tingkat yang didominasi oleh warna coklat dan krem. Lentera-lentera putih dan patung berbentuk naga. “Woah, keren.” Sangat tradisional. “Jadi,” Iel melirik yang lebih tua. “Kita ngapain ke sini?” “Mau berdoa, biar roh jahat yang ngerasukin lo cepet keluar. Stres gue lama-lama.” Sama sekali tak pernah Iel duga Sem akan menjawab seperti itu. “Iel nggak kesurupan!” “Ssst, jangan teriak-teriak.” Salah satu hal penting di tempat suci seperti ini, behave. Sem cukup paham tentang hal seperti ini dan segera memberi hormat—membungkuk di depan kuil. Berbeda jauh dengan Iel yang linglung, lantas mengikuti segala gerak-gerik Sem. Ini harus ngapain? Berdoa? Sujud? Ngebungkuk? Oh. Sumimasen, annyeonghaseyo, Iel desu. “Terus apa?” tanya Iel. Terus ya, jalan-jalan. Menjelajahi kuil, melihat-lihat segala kondimen yang ada, pun berteduh di bawah pohon tabebuya yang bermekar kuning. Kurang lebih, 15 menit habis dipakai untuk berkeliling, dan saat ini di depan mereka ada sebuah tembikar besar setinggi pinggang yang dipenuhi air. “Katanya kalo lempar koin ke situ terus berdoa—” “Woah!” potong Iel. Tak usah dijelaskan lengkap, sebab dia sudah sering melihat make-a-wish spot seperti ini di banyak film. “Iel mau coba.” Maka, sebuah koin dilempar. “Semoga Iel, bang Sem, dan semua orang bisa bahagia. Semoga yang belum nemu bahagianya, bisa cepet-cepet nemuin.” Senyum Sem yang paling tulus merekah ketika mendengarnya. “Semoga bang Sem bisa nemenin Iel sampe selama-lamanya, karena bahagianya Iel ada di bang Sem. Semoga bang Sem juga bisa ngerasa bahagia tiap bareng Iel. Semoga bang Sem makin sukses, makin ganteng, makin baik.” Cukup seperti ini. Bagi Sem, ini semua sudah cukup. Selagi seluruh waktunya dinikmati bersama Iel, gejolak kebahagian yang dulu tak pernah ia rasakan, kini membuncab-buncah; mengisi setiap sela dalam liang dadanya. Dan Sem bersyukur akan hal itu. “Oh iya lupa, kakek, kak Nael, kak Ares juga…” Pada Iel, Sem menaruh harap. Pada si bungsu Atrama, Sem akan memberikan segalanya. Pada laki-laki yang kini sudah menjadi tunangannya, Sem tersenyum bahagia. Dan tampaknya, semilir angin juga ikut menari-nari. Mendorong ranting pepohonan yang telah gugur daunnya untuk ikut bergerak sesuai tempo yang Iel panjatkan. Pun, angin berhenti tepat ketika Iel membuka mata. “Bang Sem nggak lempar koin?” “Udah.” “Lah, kok nggak kedengeran doanya?” Sem mengangkat bahu. “Lo berisik, jadi gue doa dalam hati.” “Emangnya doa apa?” Tatapan Iel penuh rasa penasaran. Kepo maksimal, hingga terlintas aksi jahil di benak Sem. “Doa biar lo nggak kesurupan setan lagi.” “Bang Sem!” Momen-momen yang begitu indah. “Ayo, sekarang kita ke tempat belanja.” “Belanja,” antusiasme Iel memekik. “Tapi sebelum itu,” tangan yang lebih muda kembali digenggam, Sem menariknya ke bagian samping kuil. Sebuah tangga, dengan pagar sekat berwarna merah di bagian tengah dan kedua sisinya. Lokasi ini cukup familiar bagi Iel. “Tangga di kimi no nawa!” Antusiasme itu melonjak tinggi. Kenapa tiba-tiba Sem mengajaknya ke sini? Bukannya kata dia film yang Iel tonton itu jelek, nggak punya selera? Namun sebelum Iel mengutarakan pikirannya, Sem lebih dulu menyela. “Mau difotoin, nggak?” Untuk hari ini, Sem bakal membuat Iel sangat bahagia. Bahkan, jika bahagia itu berarti harus memasuki lautan manusia di Harajuku, Sem tidak masalah. Lokasinya tak terlalu jauh. Dua belas menit naik taksi dan mereka tiba di sebuah jalan besar; jalan utama area Harajuku. Sebetulnya, daerah yang dijuluki kiblat fesyen itu tak seramai yang dibayangkan. Kira-kira mirip dengan suasana lorong sekolah di jam istirahat makan siang. Cukup padat tapi tak sampai berdesakkan. Kecuali untuk sektor tertentu seperti yang Sem dan Iel lalui saat ini. Takeshita Street memang selalu dikerumuni manusia. Warna-warni pada dinding kios, beberapa thrift shop terkenal yang terpusat di satu tempat, juga suasana bergairah khas anak muda yang ditampilkan. Benar-benar memiliki daya jual yang tinggi. “Gila! Rame bener.” Gelengan kepala Sem seiras dengan gerakan manusia yang keluar-masuk dari jalan itu. Untuk ukuran pusat perbelanjaan khusus pejalan kaki, lokasi ini dapat dibilang padat mampus. Sudah selevel festival terkenal, atau kalau dalam kamus yang lebih simpel, mirip pasar. “Iel pernah ke sini sekali. Waktu itu juga rame kayak gini, tapi tempatnya bagus. Iel suka.” Sewaktu Sem mengatakan akan pergi ke tempat belanja, maksudnya adalah memborong barang di mal-mal besar sama seperti selalu dia lakukan ketika berkunjung ke Jepang. Namun, saran Iel untuk pergi ke shopping street instead of big plaza in big building langsung disetujui oleh Sem. Sejatinya, dia tahu kalau tempat perbelanjaan seperti ini memang ada. Hanya saja, terkadang Sem terlalu malas untuk bergaul dengan kerumunan manusia; terlalu malas berdempetan. Tapi demi Iel, Sem rela. Moto liburannya kali ini masih sama. Iel mau apa? Ayo! Sem jabanin. Dan gachapon adalah tujuan pertama mereka. Lipatan di hoodie hitam yang Iel gunakan semakin terpeta ketika Sem menarik pinggangnya. “Jangan jauh-jauh dari gue.” Mau dilihat dari sudut mana pun, terlihat jelas kalau gagasan itu merupakan proyeksi dari rasa cemas yang dirasakan. Takut jika Ielnya akan hilang, lagi. Maka sepanjang kaki melangkah, rengkuhan di pinggang Iel tak pernah lepas, bahkan di gachapon sekalipun. “Bang Sem ih, lepasin dulu, Iel mau nukerin uang jadi koin.” Yang dituding mendengus tak rela, meski pada akhirnya tetap menurut. Setidaknya di sini tak seramai di luar. “Mau pilih yang mana?” Puluhan mesin gacha tersusun apik. Bentuknya kecil mirip dispenser sementara cara mainnya tak jauh berbeda dengan vending machine: masukan koin, putar tuas, dan sebuah kapsul berisi mainan acak akan muncul. “Eum..” Iel tampak memilah-milah mesin. Mencari mainan yang diinginkan. “Tuh ada pokemon, goku, boku no hero, boku no pic — ” “Bang Sem wibuuu!” Ya, gimana? Dari tadi Sem malah mendikte nama-nama anime yang memang terpampang di mesin-mesin gacha. “Lah, bukannya lo ke sini mau ningkatin kualitas wibu lo? Ngoleksi mainan anime?” “Iyaaa, tapi Iel cuma tau dikit doang,” pandangannya mengedar jauh, hingga berhenti di satu mesin, “MAINAN KUCING!” Sem menganga. Memang sih, tidak semua mesin di sini berkaitan dengan anime. Tapi kenapa harus ada mainan kucing juga?! Sem jadi ngeri. Soalnya, Iel benar-benar berinvestasi pada kucing. “Meow, meow, meow,” senandung Iel bergema dengan suara koin yang masuk mesin. Tuas kemudian diputar dan tak berselang lama, mainan muncul. Satu action figure berbentuk, “Kucing oren!” Haduh, Sem cuma bisa nepuk jidat. Bukan masalah sepuluh ribu yen yang langsung habis dalam sekejap, tapi kalau gini ceritanya, bisa-bisa mereka pulang ke Indonesia dengan satu koper penuh mainan kucing. “Lo nggak mau coba yang lain?” Sem membujuk, tapi Iel menggeleng cepat. “Bentar, kurang satu lagiiii! Itu si kucing botak susah banget dapetnya.” Astaga. “Itu namanya kucing sphynx.” “Kucing botak.” “Serah dah.” “Bang Sem main juga sana, jangan liatin Iel mulu.” Awalnya, putra Atrama itu tak memiliki niat untuk bermain. Bukan malah beranjak memasukkan koin ke salah satu mesin seperti sekarang. “Anya!” Seruan Iel disambut kaget oleh Sem, sebab tiba-tiba si bungsu sudah ada di sebelahnya. “Lo tau spy-x-family juga?” “Tau!” balasnya. “Iel diajak kak Nael nonton itu.” Alis Sem menukik heran. “Tumben amat Nael nonton gituan.” “Gara-gara kak Ares.” Mendengarnya, wajah Sem berubah tertekan. “Sama berarti. Gue juga nonton gara-gara dipaksa Ares.” Sekilas, keduanya saling berbagi pemikiran yang sama. “Kak Ares wibu.” Iel yang memulai. “Wibu kronis, udah gitu galak lagi.” Sem yang menambahkan. Ngomongin orang dari luar negeri memang mempunyai sensasi yang berbeda. “Kalo bang Sem, udah mah wibu, cupu lagi,” mulut yang lebih tua sudah siap melontarkan protes, sebelum urung karena Iel menerjangnya dengan pelukan. “Tapi Iel sayang banget sama Bang Sem.” Sepertinya liburan kali ini menghabiskan semua jatah senyuman Sem untuk sebulan ke depan. “Bohong ah, lo lebih sayang kucing, kan?” Sem mencibir. “Liat tuh sampe satu paper bag penuh isi kucing doang.” Iel cuma nyengir. Laki-laki itu lantas merogoh ke dalam paper bag, “Bentar, Iel punya sesuatu buat bang Sem.” Tak banyak yang Sem harapkan dari tas berisi mainan kucing itu. Namun, dalam lima detik air muka langsung berubah drastis. Dengan semangat yang membara, Iel menjulurkan satu figur kucing. Sebuah interpretasi dari caranya melihat lurus pada jodohnya. “Kucing hitam marah-marah!” Sialan!

“Kenapa senyum-senyum?” Laki-laki berkemeja biru itu sedikit penasaran dengan apa yang Iel lakukan di ponselnya. “Itu, kak Harsa ngasih tau sesuatu ke Iel.” “Apaan?” “Kepo!” Lengan panjang kemejanya dilipat sampai sikut bersamaan dengan dengus sebal yang ke luar. “Ayo jalan lagi.” Manik Iel menyapa wajah Sem yang duduk di hadapannya. Tadi, selepas mengelilingi beberapa kios, keduanya sepakat untuk mengambil istirahat sejenak. Ditemani crepes blueberry, takoyaki jumbo, dan roti kucing lgbt, hampir setengah jam telah berlalu dengan begitu saja. Matahari sudah mulai turun, tempat itu juga mulai kehilangan populasinya. Meski begitu, masih banyak tempat yang ingin mereka eksplor dan segera bergegas adalah pilihan yang paling tepat. “Ke mana lagi ya, Iel belum tahu.” Untuk kali ini, Sem membiarkan Iel berjalan duluan; membiarkan Iel celingukan mencari toko yang akan dikunjungi sementara dirinya asyik memandangi punggung sang kekasih. Lagipula, kedua tangannya sudah penuh oleh belanjaan mereka — total lima paper bag punya Iel, dan satu miliknya. “Itu ada studio foto!” Satu telunjuk Iel menuding pada bangunan ungu tua dengan antrian meleber sampai ke luar. “Rame banget,” kilah Sem tak setuju. “Tapi kalo rame biasanya bagus.” “Itu panjang banget Iel. Bisa abis sejam cuma nunggu doang.” Bibir Iel dikerucutkan. Dalam hatinya, besar sekali rasa ingin untuk medokumentasikan liburan kali ini ke dalam bentuk photostrip. Tapi di satu sisi logikanya bisa menerima pemikiran Sem. “Yaudah, yang lain aja.” Dalam hitungan mikrosekon, wajah Iel berseri kembali. Langkahnya dibawa riang, sedikit cepat karena area itu sudah tak terlalu penuh dan dia yakin Sem akan terus membuntutinya. “Bang Sem nggak ada mau ke mana gitu?” Pertanyaan Iel melayang tanpa mengalihkan pandang. Yang mana langsung disahuti dari belakang. “Nggak ada sih.” Lantaran begitu, Iel menganggap gagasan tersebut sebagai kartu hijau. Sebuah kebebasan bagi dirinya untuk kembali memilih tempat yang dituju. Toko makanan, nggak deh masih kenyang. Toko pakaian, eum Iel udah beli banyak. Toko… “SANRIO!” Energi yang disalurkan pada satu kata itu begitu menggebu-gebu. Antusiasmenya melejit pesat disaat melihat boneka-boneka lucu di balik etalase kaca depan toko. “Bang Sem ayo ke sana!” Dengan kilat, Iel meraih pergelangan tangan lelaki yang ada di sebelahnya. Kemeja biru panjang yang melingkupi tangan laki-laki itu ditarik kuat. Dibawa masuk ke dalam toko. “Kata kak Nael mereka ngeluarin produk baru, Iel mau liat.” Mulut si bungsu tak berhenti menyerocos. “Bang Sem tau sanrio juga, kan? Lucu-lucu tau, pokoknya bang Sem harus liat.” Kaki Iel terus melangkah. “Ih itu-itu ayo ke situ.” Hingga berhenti di depan rak penuh boneka. “Liat ini ada si kembar, Lala sama Kiki.” Yang lebih muda menjelaskannya dengan begitu riang. “Menurut bang Sem lucuan yang mana? Iel mau beli.” Tapi entah mengapa, Iel merasa ada yang kurang. Tumben banget Sem tidak memberi respon apa-apa. Oleh karenanya, Iel menoleh. Pada lelaki yang sedari tadi masih ia genggam dengan satu tangan. “Bang Se — ” Hah? Suara Iel tercekat di tenggorokan. Mulutnya masih terbuka lebar ketika ia sadar kalau laki-laki berkemeja biru yang ada di sebelahnya bukanlah jodohnya. Itu bukan Sem. Itu orang lain. Sumpah! Iel malu banget. “Eum…,” mukanya berangsur merah. Genggamannya langsung dilepas. Pun, matanya yang berair, menahan tangis. Dia malu. Malu banget! Semangat si bungsu yang tadi membara hilang total, digantikan dengan ciutan yang nyaris tak terdengar. “…sorry.” Iel bahkan tak berani menatap manik orang asing itu. Sampai suara kekehan terdengar dari belakang, Iel masih tak bergerak dari diamnya. Vokal yang teramat familiar kemudian terdengar lembut. Itu Sem. Itu pasti Sem. Iel yakin kalau lelaki yang sedang berbincang dengan orang asing yang tadi ia tarik itu adalah Sem Atrama. Entah apa yang mereka obrolkan. Mungkin semacam permintaan maaf? Iel cuma menyimak sekilas, semacam shitsureishimasu? sushi itadakimasu? susi mas? Ya pokoknya semacam itu. Tak terlalu jelas sebab fokusnya sedang tak di sana, melainkan betah menatap sepatunya sendiri. “Lucu banget sih,” yang ini udah pasti Sem. Dari ekor matanya, Iel melirik sekilas; melirik kemeja panjang biru Sem yang terlipat sampai siku. “Sangking hebohnya, sampai salah narik orang.” Putra Atrama itu menyikut pundak sang jodoh. Kurva di bibirnya merekah ke satu sisi, tampak mengejek. “Muka kaget lo ngakak banget tadi. Lagian bisa-bisanya pake acara salah — ” Ucapan Sem terhenti sebab Iel tak kunjung bereaksi. Si bungsu masih saja menduduk. “Iel?” Langsung saja dia menjulurkan jemari demi mengangkat dagu lelaki yang ada di sampingnya. Dan Sepasang manik basah menyambut iris gelap Sem. Tak butuh waktu lama untuk Sem mengambil aksi. Menjatuhkan semua paper bag yang dibawa ke lantai keramik demi menarik laki-laki yang lebih muda ke dalam pelukan erat. “Nggak malu apa, diliatin banyak orang tuh.” Fakta bahwa mereka masih di dalam outlet Sanrio membuat rasa malu semakin kentara. Dari perpotong leher Sem, Iel melirih. “Bang Sem jelek.” Meski volumenya kecil, Sem masih bisa mendengar rajukan jodohnya dengan jelas. Lucu banget dah, jodoh siapa sih? Tapi pemikiran itu hanya bertahan beberapa detik. Sebab Iel benar-benar ngambek kali ini. Bahkan lelaki Pramana itu tak lagi berucap barang sekata pun. “Ini bonekanya jadi mau dibeli nggak?” Tak ada jawaban. “Atau mau beli yang lain aja?” Masih tak ada jawaban. “Iel, Iel, Ieeeel…” Astaga, Ielnya mogok bicara. Kalau gini ceritanya, Sem harus memutar gerigi otaknya. Memikirkan segala cara untuk membujuk makhluk lucu yang masih betah mendekap dirinya