Permintaan Pertama

Zidan berada di ambang kebimbangan. Ia menimbang-nimbang, apakah harus membangunkan Zendra yang tertidur pulas di pundaknya atau membiarkan keduanya tetap berada di posisi ini selama beberapa menit ke depan.

Urusan transaksinya dengan tukang tambal ban telah selesai beberapa menit lalu. Untungnya, bapak penambal ban pengertian, saat Zidan hendak bangkit untuk membayar jasa, si bapak dengan santainya berkata, “Sambil duduk aja Dek, kasihan itu pacarnya nanti kebangun.”

Zidan yang tak merasa perlu untuk mengklarifikasi kesalahpahaman hanya tersenyum sembari menyerahkan dua lembar uang dua puluh ribuan.

“Kembaliannya ambil saja, Pak.”

Setelah mengucapkan terima kasih, bapak penambal ban pergi meninggalkan dua anak adam yang kini duduk di anak tangga toko kelontong yang sudah tutup.

Zidan menengok jam di pergelangan tangan kirinya, jarum pendek dan panjang saling bertindih lurus menunjuk angka 12. Mau tidak mau ia harus membangunkan Zendra sebelum hari semakin larut.

Ia mengguncang pundak kirinya pelan, berusaha memberi kode pada Zendra untuk bangun. Namun, dekapan pada lengan kirinya justru mengerat. Bukannya mengangkat kepala, Zendra justru semakin melesakkan kepalanya ke ceruk leher Zidan.

“Kaya gini dulu. Sebentar aja.”

Vibrasi dari suara Zendra pada kulit lehernya membuatnya diam tak berkutik. Jakunnya naik turun, mengisyaratkan kegugupan sekaligus kata-katanya yang tertahan.

“Capek ya, Bang?” Kalimat itu akhirnya lolos juga.

“Iya, untung ada lo tadi, jadi bisa gue jadiin alesan buat kabur rapat.”

Zidan tertawa singkat sebelum melayangkan pertanyaan lanjutan dengan nada yang lebih rendah. “Uhmm, anything else?”

Kali ini Zendra yang tertawa. Ia cukup peka untuk menangkap situasi bahwa Zidan cemas atas kondisinya belakangan ini yang mirip seperti tanaman layu.

Bukannya ia tidak percaya dengan Zidan, namun ia tak ingin orang-orang di sekitarnya ikut memikul beban yang ada di pundaknya. Zidan juga paham tentang hal tersebut. Selama tinggal bersama, ia mendapati bahwa Zendra adalah yang paling tertutup dibandingkan penghuni kos yang lain. Dibanding dengan Hugo yang selalu memuntahkan segala keluh kesahnya pada setiap sudut rumah—bahkan jepitan jemuran pun akan tahu jika pagi ini Hugo tersandung kabel proyektor saat hendak presentasi—, Zendra justru menelan seluruh racunnya, larut dalam masalah dan pikirannya sendiri.

“Gue boleh pakai satu permintaan sekarang?” tanya Zidan menatap lekat pada Zendra. Kali ini ia sudah cukup rileks, bahunya tidak setegap barusan.

“Boleh. Apa?” Zendra menjawab tanpa mengubah posisinya. Matanya masih terpejam rapat.

“Lo wajib melaporkan satu cerita yang terjadi dalam hari lo. It doesn't have to be something big, it can be any smallest little thing. Boleh apapun, asal lo harus cerita ke gue. Setiap hari.”

Yang lebih tua mendongakkan kepala untuk menatap netra lelaki yang ada di sampingnya. Dagunya masih menempel pada pundak Zidan. Ia mengangguk disertai dengan sebuah senyuman lebar.

Mereka bertahan dalam posisi saling tatap tersebut dalam waktu yang cukup lama. Hingga Zidan perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Zendra.

Saat jarak keduanya sudah begitu dekat, Zidan kembali menatap mata Zendra untuk meminta persetujuan. Yang ditatap hanya memejamkan mata, cukup menjadi sinyal bagi Zidan untuk melanjutkan aksinya yang tertunda.

Ia turut memejamkan mata dan semakin mempersempit jarak di antara keduanya.

Zendra dapat merasakan hangat dan basah bilah bibir Zidan yang mendarat pada keningnya. Dikecupnya dalam dahi Zendra selama beberapa detik, menyalurkan seluruh afeksi yang ada dalam dadanya.

Zidan menjauhkan wajahnya dan membuka mata perlahan. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Zendra dengan bibir mengerucut sedang menatapnya pasrah. ㅤ

“Kirain mau di bibir.”

Zidan sontak bangkit dan melepaskan bahunya dari tubuh Zendra. “Dasar kufur nikmat!” ㅤ


Zidan memasuki halaman kos diikuti dengan Zendra yang berkendara di belakangnya. Belum selesai ia memarkirkan motornya, tampak Markus dan Hugo keluar dari pintu utama dengan raut cemas bak orangtua yang menanti kepulangan anaknya.

“Jidan jadinya disamperin Zendra?” tanya Hugo setengah heran.

“Itu mah si Zendra baru balik dari rapat kali, yang,” sahut Markus.

Zendra melepas helm dan langsung melangkah memasuki kos. “Iya nih, kebetulan aja tadi nyampe barengan.”

Dua sejoli itu hanya mengangguk-angguk penuh rasa percaya.