Tidak sampai setengah jam sejak pesan terakhir Arjuna, lelaki itu betulan sudah berdiri tegak di depan pagar kontrakan Jeffry.

Zendra tidak perlu bertanya, “Tau gue di sini dari mana?”

Mengingat teman kosnya itu adalah primadona kampus, juga melihat bagaimana wujud-wujud teman sekontrakan Jeffry. Zendra yakin, banyak mata-mata di tempat pengungsiannya ini.

Maka di sinilah dua anak adam itu sekarang. Duduk di kursi rotan depan teras yang sempit karena dijadikan lahan parkir. Zendra bahkan harus mengangkat sebelah kakinya ke atas kursi agar tidak terhimpit motor.

Waktu sudah berlalu beberapa menit, keduanya hanya saling diam.

Padahal, Zendra sudah mempersiapkan diri dengan berbagai kalimat protes seperti, “Emang apa urusan lu gue pacaran sama Jidan?” kalau-kalau Arjuna mencak-mencak melabraknya.

Tapi, melihat Arjuna datang dengan aura yang berbeda, Zendra memilih untuk diam sambil memeluk pahanya, menunggu pria mungil di sampingnya itu untuk bersuara.

ㅤㅤ “Kita tuh brengsek ya, Zen.”

Sungguh, kalimat yang ekstrim untuk mengawali percakapan.

Dikatai begitu, Zendra sontak menoleh.

Brengsek mah brengsek sendiri aja, kenapa bawa-bawa gue?

Lagi-lagi Zendra memilih diam saat pelototannya dibalas dengan sorot sendu. Saat itu pula, Zendra sadar bahwa Arjuna datang ke sini menenteng dua topik pembahasan yang berbeda. ㅤ

Zendra menegakkan tubuh sambil berusaha menapakkan kakinya ke lantai di sela-sela ban motor.

Ia menarik napas dalam dan membuangnya sebelum menatap lurus ke depan dan berucap tegas, “Gue sayang beneran sama Jidan.” ㅤ

Sama seperti Zendra, Arjuna juga menatap lurus ke arah jalanan. Bibirnya menyunggingkan senyum simpul.

“Yang kemarin… Jangan diulangin lagi.”

Zendra baru membuka bilah bibirnya hendak menjawab, tapi urung karena Arjuna malah menimpali kalimatnya sendiri. ㅤ

Sorry, justru gue yang ngulangin kesalahan lo,” tutur Arjuna, pandangannya sudah kembali terkunci pada Zendra.

Zendra memutar tubuhnya, menghadap fokus pada Arjuna.

“Nana cerita banyak ya, ke lo?”

Arjuna mendengus. “Cerita versi halusnya.” ㅤ

“Kalau gue cuma lagi bingung.” “Kalau lo cuma lagi bingung.”

Keduanya berucap bersamaan dan terkekeh singkat.

“Nana mana bisa sih Zen, cerita jelek-jeleknya orang.”

Zendra mengangguk pelan. “Dia orang baik.” ㅤ

“Dia selalu tulus sayang sama orang, tapi nggak pernah nerima rasa sayang yang sama.”

Atas pernyataan Arjuna, Zendra menyandarkan punggungnya ke tembok. Lengannya terangkat untuk menutupi setengah wajahnya.

“Bener kata lo Jun, kita brengsek. Cuma gue… Gue lebih brengsek.” ㅤ

Sama seperti kebingungan keluarganya saat Zidan diperkenalkan sebagai pacar ke rumah, Zendra juga pernah mempertanyakan orientasi seksualnya.

Di masa-masa itu lah, Najmi ada di sisinya.

Zendra pikir, Najmi adalah jawaban atas pertanyaannya.

Namun ternyata, ia mencoret jawaban yang salah sekaligus menorehkan luka.

Sebab hatinya, tidak pernah benar-benar berlabuh pada sang mantan.

“Jidan udah gue anggep adek sendiri. Beneran, tolong, jangan diulangin lagi,” ucap Arjuna final sebelum ikut bersandar pada tembok kontrakan.