u need me and i want u too
Mark senyum marhatiin Jisung yang berdiri kikuk di ruang tengah rumahnya. Jisung kayaknya serius soal ucapan dia bakal pakai piyama dari Mark setiap hari. Anak itu kelihatan manis dalam balutan piyama dan cardigan yang sedikit kebesaran di badan ramping dia.
Mata yang lebih muda bergerak gelisah kesana kemari. Mark bisa nangkep kalau Jisung masih ngerasa canggung di deket dia.
Kakinya dibawa melangkah pelan buat ngedeket ke arah Jisung. “Udah sini, nggak bakal kakak cium,” kekeh Mark.
Mark biarin Jisung tidur dalam dekapan dia. Satu tangannya ngebelai lembut rambut belakang Jisung, sebelum napas teratur Jisung pelan-pelan mulai memburu. Tubuh dalam rengkuhan Mark lama kelamaan semakin bergetar.
Mark lebih ngeratin pelukan dia, tangannya dibawa buat ngusap-usap pelan punggung Jisung waktu isakan-isakan kecil mulai kedenger.
Mark terlampau hafal dengan kebiasaan Jisung selepas pulang dari makam sang ibu. Kalimat selanjutnya yang Jisung lontarkan, bertahun-tahun diputar berulang di telinga Mark.
“Kalau aja dulu aku jadi cowok yang lebih kuat, ibu pasti masih hidup.”
Dari luar, Jisung selalu ngelihatin ketabahan dan rasa ikhlas. Bahkan di depan ayahnya sendiri, Jisung selalu berusaha jadi anak kuat.
Di depan Mark, Jisung bisa menjadi anak kecil yang rapuh hatinya. Hanya di depan Mark.
Mark merenung, seharusnya cukup seperti ini.
Cukup dengan Jisung yang selalu pulang ke dekapan dia.
Cukup hanya dengan Mark yang Jisung jadikan tempat paling nyaman untuk segalanya.
Seharusnya cukup seperti ini.
Mark hirup dalam-dalam aroma powdery yang menyeruak dari rambut Jisung. “Jisung, ini bukan salah kamu.”
Bukan salah Jisung yang tumbuh menjadi anak dengan kepribadian lemah lembut.
Lagi pula, menjadi lelaki lemah lembut juga bukan suatu kesalahan.
ㅤ 4 tahun lalu
Ibu Jisung terburu-buru, bahkan