millkitazoldyck

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutup Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh geram.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga terduduk di lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan sebelum mengumpati Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk sekadar menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama?”

“Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri yang lebih banyak menyimpan luka.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dirinya terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutup Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh geram.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga terduduk di lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan sebelum mengumpati Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk sekadar menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama?”

“Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri yang lebih banyak menyimpan luka.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dia terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutup Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh geram.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga terduduk di lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan sebelum mengumpati Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk sekadar menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama? Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio yang saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dia terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutup Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh geram.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga terduduk di lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan sebelum mengumpati Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama? Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio yang saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dia terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutup Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh geram.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga terduduk di lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan bersamaan dengan Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama? Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio yang saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dia terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutup Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh geram.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga tersungkur ke lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan bersamaan dengan Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama? Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio yang saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dia terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutup Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh emosi.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga tersungkur ke lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan bersamaan dengan Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama? Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio yang saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dia terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutip Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh emosi.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga tersungkur ke lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan bersamaan dengan Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Abiyyu yang sejak tadi terlalu tenang, kini mulai membabi buta. Seakan tak puas menciptakan dengung di kepala Airlangga, seluruh tubuh yanh bahkan sudah tak berkutik itu dibabat habis-habisan.

Sedang yang ada di pikiran Airlangga hanyalah, “Bagaimana Gio bisa menahan semua ini sekian lama? Bagaimana Gio masih bisa bersikap manis di depan orang banyak?”

Bagaimana Gio yang saat ini berusaha menjadi tameng dari pukulan-pukulan Abiyyu terhadap Airlangga dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana isakan Gio di sela-sela bibirnya yang terus menyebutkan namanya.

Semua itu teralun dengan begitu lamban. Sampai Airlangga merasakan sebuah jarum menancap di nadinya. Bersamaan dengan napasnya yang kontan tercekat.

Bersamaan dengan “Kak Ai…” terakhir yang didengarnya.

Setidaknya, tentang, ”Bagaimana nasib Gio nanti jika dia terpejam sekarang?”

Setidaknya, Airlangga bisa pergi dengan tenang.

Bersamaan dengan bunyi sirine yang mendekat.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutip Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh emosi.

“Sinting! Lo apain Gio, Bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga tersungkur ke lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan bersamaan dengan Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bajingan!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos. Begitu sengit sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

ㅤ “Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Abiyyu sudah berdiri beberapa langkah di belakangnya dengan stick golf di tangan kanan. Menatap Airlangga tajam. Bola matanya begitu gelap penuh amarah.

Tak sempat mengantisipasi, benda logam itu menghantam tengkoraknya.

Tidak ada yang nampak mencurigakan saat Airlangga menginjakkan kaki di kediaman Abiyyu. Segalanya terlampau normal. Bahkan Abiyyu terlihat santai saat mengajak dirinya duduk di sofa tamu. Menawarinya minum teh, bahkan.

Tapi Airlangga tolak. Takut beracun.

Airlangga yang tadinya begitu berburuk sangka mulai berpikir, jangan-jangan beneran cuma mau ngomongin project yang batal?

Merasa tenang, Airlangga berani berceletuk, “Kok sepi? Gio ke mana?”

Abiyyu merespon pertanyaan Airlangga dengan senyum simpul.

“Gio sayaaang, sini turun! Dicariin kak Ai!”

Deg.

Kak Ai. Kecemasan Airlangga meroket lagi. Sejak kapan Abiyyu tau panggilan Gio terhadap dirinya?

Segalanya menjadi di ujung tanduk saat netra Airlangga menatap Gio yang turun dari tangga dengan kaki terpincang-pincang.

Dan untuk pertama kalinya, Airlangga melihat semuanya dengan begitu jelas. Tubuh polos Gio tanpa atasan yang penuh bekas luka di mana-mana. Bukan hanya bekas pukulan, namun juga bekas jahitan di area dada.

Semua itu selalu bersembunyi di balik pakaian tertutip Gio. Tapi sekarang, Abiyyu bahkan tak segan lagi untuk meninggalkan jejak pada bagian-bagian yang dapat dilihat sekilas mata.

Wajah Gio penuh memar, bahkan mata kirinya tidak bisa membuka sempurna karena goresan luka. Bibirnya merah berlumur darah.

Melihat kondisi Gio yang begitu menyesakkan dadanya, Airlangga bangkit berdiri, menarik kerah baju Abiyyu penuh emosi.

“Sinting! Lo apain Gio, bangsat!?”

Abiyyu menyeringai. Jauh berbeda dengan Airlangga, pembawaan Abiyyu tetap tenang dan tidak goyah sama sekali.

Sebuah kepalan tangan menghantam perut Airlangga.

Disusul dengan hantaman lain di wajah juga tendangan kencang yang membuat Airlangga tersungkur ke lantai.

Abiyyu mengambil benda pipih yang ada di kantongnya sebelum dilempar tepat di samping Airlangga.

Dari wujud ponsel yang sudah pecah di segala sisi itu, Airlangga tahu apa peyebab kemarahan Abiyyu.

“Jangan sentuh milik gue.” Abiyyu berucap dalam dan penuh penekanan bersamaan dengan Airlangga yang menendang tulang keringnya kuat.

“Bangsat!”

Dua anak adam itu saling beradu jotos sampai atensi Airlangga teralihkan dan langsung melesat menghampiri Gio yang sedang tersungkur dengan napas tersenggal-senggal. Keringat mengucur deras membilas darah di pelipisnya.

“Io kenapa? Mana yang sakit?”

“Takut…,” lirih Gio dengan tubuh yang bergetar hebat.

“Io tenang, kak Ai ada di sini, Io aman sama kak Ai.”

“Ta…kut…”

“Io, Io tatap mata kak Ai.”

Airlangga menangkup wajah Gio, namun yang lebih muda masih begitu gelisah bahkan untuk menghadapkan wajah ke arahnya. “Io… Io… Io, tenang… Hey… Dimas…”

”Kak Ai jangan sebut nama itu! Jangan sampe kedengeran kak Biyu, nanti Gio nggak bisa ketemu kak Ai lagi.”

ㅤ “Lo bilang apa tadi?”

Di belakangnya, Abiyyu menatap Airlangga tajam.