millkitazoldyck

Jisung hanya punya dua tempat untuk kabur. Pertama, kamar Haechan.

Jeno melesat melewati dua blok gedung asrama untuk sampai ke sana. Megap-megap berlarian menaiki tangga sebab di hari Sabtu dan Minggu semua lift dimatikan.

Sesuai dugaan, Jisung sudah pergi. Tentu saja, Jisung tahu kalau Jeno akan menghampirinya ke kamar Haechan.

Kedua, untungnya Haechan bermulut ember. Jeno betulan menemukan Jisung di samping asrama mereka. Terlalu kecil untuk disebut rawa, tapi terlalu besar untuk disebut kolam ikan. Pokoknya, genangan air buatan penuh berbatuan itu adalah tempat para mahasiswa sering melempari koin dan berdoa memohon pinta pada entitas yang tak kasat mata.

Punggung Jisung nampak loyo dan mengkhawatirkan, berjongkok pada satu batu besar di tengah. Jeno melempar sebuah kaleng yang terhubung dengan benang membentang berujung pada kaleng lain di genggamannya.

Bising keletung pertemuan kaleng dan batu sontak mengalihkan perhatian Jisung. Badannya berbalik cepat.

Sia-sia saja kekhawatiran Jeno. Anak itu, sama sekali tidak terlihat sedang sedih apalagi galau. Justru di telapaknya terkumpul beberapa keping koin setengah basah. Rupanya sedang mengutil.

Namun begitu, Jisung tetap menggapai kaleng yang diberikam Jeno. Sedikit mendengus geli, sebab telepon itu punya kenangan tersendiri. Dulu sekali, keduanya pernah bertengkar cukup hebat. Gengsi yang sama-sama selangit, tidak ada yang mau mengalah untuk mengaku salah. Hingga di satu titik, Jisung sadar bahwa memang dirinya lah yang salah. Kadung malu, Jisung malu untuk minta maaf secara langsung. Maka terciptalah alat sederhana itu. Malam-malam dia melempar satu kaleng ke ranjang Jeno yang setengah terlelap. Meminta maaf dengan cara paling unik sedunia.

Jisung tidak menyangka bahwa Jeno masih menyimpan semua ini.

ㅤ “Jadi Dewa Kodok yang disembah anak-anak tuh elo, Park Jisung.”

Jisung adalah Jisung yang selalu nyengir tanpa dosa. “Nggak baik tau buang-buang duit tuh, polusi air juga, polusi tanah! Mending gue manfaatin sekaligus menjaga keseimbangan alam.”

Jeno hanya geleng-geleng. Ia bangkit, pelan melompati bebatuan menyusul singgasana Jisung. Tangannya merogohi saku celana. Setelah menemukan satu keping koin, Jeno menyerahkannya pada genggaman Jisung. Kedua telapaknya saling mengepal di depan dada. Sambil terpejam, Jeno berucap pelan, “Dewa Kodok, tolong bikin Jisung nggak ngambek lagi sama gue.”

ㅤ Label meminta maaf dengan cara paling unik sedunia sepertinya sudah berpindah ke Jeno.

Tawa renyah dari Jisung sukses mendapat atensi penuh Jeno.

“Siapa juga yang ngambek sama lo.”

Iya juga, ya.

Ngapain Jisung ngambek sama Jeno?

Memangnya dia ini siapa?

Memangnya mereka ini apa?

Banyak pertanyaan berputar mengelilingi pikirannya. Tapi Jeno harus mulai dari yang mana?

“Jisung, lo liat apa aja pas pake alatnya Sungchan?”

Sangat to the point.

Nothing much.

Sangat no point.

“Tapi ngeliat gue juga?”

Jisung hanya mengangguk lamban. Kini jemarinya sudah sibuk bermain-main dengan air.

“Oh, jadi itu alesan lo tersipu pas kita papasan setelah ngeliat vision kedua.”

Fokus Jisung pada berudu di bawah kakinya langsung berpindah pada raut Jeno yang sedikit menyebalkan. “Gue ngeliat hal lain tuh, di percobaan kedua. Nggak ada lo.”

Eh? Sekarang gantian Jeno yang tersipu malu. Ia menunduk sambil bergumam pelan, “Jadi, beda-beda ya tiap orang.”

“Emang lo ngeliat apaan, Jen?”

Jeno berdehem. Mendadak tenggorokannya kering. “Kasih tau dulu lo ngeliat apaan. Nanti baru gue kasih tau.”

Hahaha.

Bisa-bisanya Jeno berusaha menipu Jisung dengan cara yang persis sama dengan cara Jisung menipu dirinya.

“No, thanks.”

Lantas, tidak ada lagi percakapan di sana. Jisung yang kembali sibuk mengobok-obok air. Juga Jeno yang sibuk memerhatikan Jisung yang kembali sibuk mengobok-obok air. Lama ia menatap Jisung, sampai satu pertanyaan memecah semua keheningan.

“Jisung.”

“Tapi di penglihatan lo, rambut lo putih gini juga, nggak?”

Jisung nyaris kepleset.

Jisung hanya punya dua tempat untuk kabur. Pertama, kamar Haechan.

Jeno melesat melewati dua blok gedung asrama untuk sampai ke sana. Megap-megap berlarian menaiki tangga sebab di hari Sabtu dan Minggu semua lift dimatikan.

Sesuai dugaan, Jisung sudah pergi. Tentu saja, Jisung tahu kalau Jeno akan menghampirinya ke kamar Haechan.

Kedua, untungnya Haechan bermulut ember. Jeno betulan menemukan Jisung di samping asrama mereka. Terlalu kecil untuk disebut rawa, tapi terlalu besar untuk disebut kolam ikan. Pokoknya, genangan air buatan penuh berbatuan itu adalah tempat para mahasiswa sering melempari koin dan berdoa memohon pinta pada entitas yang tak kasat mata.

Punggung Jisung nampak loyo dan mengkhawatirkan, berjongkok pada satu batu besar di tengah. Jeno melempar sebuah kaleng yang terhubung dengan benang membentang berujung pada kaleng lain di genggamannya.

Bising keletung pertemuan kaleng dan batu sontak mengalihkan perhatian Jisung. Badannya berbalik cepat.

Sia-sia saja kekhawatiran Jeno. Anak itu, sama sekali tidak terlihat sedang sedih apalagi galau. Justru di telapaknya terkumpul beberapa keping koin setengah basah. Rupanya sedang mengutil.

Namun begitu, Jisung tetap menggapai kaleng yang diberikam Jeno. Sedikit mendengus geli, sebab telepon itu punya kenangan tersendiri. Dulu sekali, keduanya pernah bertengkar cukup hebat. Gengsi yang sama-sama selangit, tidak ada yang mau mengalah untuk mengaku salah. Hingga di satu titik, Jisung sadar bahwa memang dirinya lah yang salah. Kadung malu, Jisung malu untuk minta maaf secara langsung. Maka terciptalah alat sederhana itu. Malam-malam dia melempar satu kaleng ke ranjang Jeno yang setengah terlelap. Meminta maaf dengan cara paling unik sedunia.

Jisung tidak menyangka bahwa Jeno masih menyimpan semua ini.

ㅤ “Jadi Dewa Kodok yang disembah anak-anak tuh elo, Park Jisung.”

Jisung adalah Jisung yang selalu nyengir tanpa dosa. “Nggak baik tau buang-buang duit tuh, polusi air juga, polusi tanah! Mending gue manfaatin sekaligus menjaga keseimbangan alam.”

Jeno hanya geleng-geleng. Ia bangkit, pelan melompati bebatuan menyusul singgasana Jisung. Tangannya merogohi saku celana. Setelah menemukan satu keping koin, Jeno menyerahkannya pada genggaman Jisung. Kedua telapaknya saling mengepal di depan dada. Sambil terpejam, Jeno berucap pelan, “Dewa Kodok, tolong bikin Jisung nggak ngambek lagi sama gue.”

ㅤ Label meminta maaf dengan cara paling unik sedunia sepertinya sudah berpindah ke Jeno.

Tawa renyah dari Jisung

Jisung hanya punya dua tempat untuk kabur. Pertama, kamar Haechan.

Jeno melesat melewati dua blok gedung asrama untuk sampai ke sana. Megap-megap berlarian menaiki tangga sebab di hari Sabtu dan Minggu semua lift dimatikan.

Sesuai dugaan, Jisung sudah pergi. Tentu saja, Jisung tahu kalau Jeno akan menghampirinya ke kamar Haechan.

Kedua, untungnya Haechan bermulut ember. Jeno betulan menemukan Jisung di samping asrama mereka. Terlalu kecil untuk disebut rawa, tapi terlalu besar untuk disebut kolam ikan. Pokoknya, genangan air buatan penuh berbatuan itu adalah tempat para mahasiswa sering melempari koin dan berdoa memohon pinta pada entitas yang tak kasat mata.

Punggung Jisung nampak loyo dan mengkhawatirkan, berjongkok pada satu batu besar di tengah. Jeno melempar sebuah kaleng yang terhubung dengan benang membentang berujung pada kaleng lain di genggamannya.

Bising keletung pertemuan kaleng dan batu sontak mengalihkan perhatian Jisung. Badannya berbalik cepat.

Sia-sia saja kekhawatiran Jeno. Anak itu, sama sekali tidak terlihat sedang sedih apalagi galau. Justru di telapaknya terkumpul beberapa keping koin setengah basah. Rupanya sedang mengutil.

Namun begitu, Jisung tetap menggapai kaleng yang diberikam Jeno. Sedikit mendengus geli, sebab telepon itu punya kenangan tersendiri. Dulu sekali, keduanya pernah bertengkar cukup hebat. Gengsi yang sama-sama selangit, tidak ada yang mau mengalah untuk mengaku salah. Hingga di satu titik, Jisung sadar bahwa memang dirinya lah yang salah. Kadung malu, Jisung malu untuk minta maaf secara langsung. Maka terciptalah alat sederhana itu. Malam-malam dia melempar satu kaleng ke ranjang Jeno yang setengah terlelap. Meminta maaf dengan cara paling unik sedunia.

Jisung tidak menyangka bahwa Jeno masih menyimpan semua ini.

ㅤ “Jadi Dewa Kodok yang disembah anak-anak tuh elo, Park Jisung.”

Jisung adalah Jisung yang selalu nyengir tanpa dosa. “Nggak baik tau buang-buang duit tuh, polusi air juga, polusi tanah! Mending gue manfaatin sekaligus menjaga keseimbangan alam.”

Jeno hanya geleng-geleng. Ia bangkit, pelan melompati bebatuan menyusul singgasana Jisung. Tangannya merogohi saku celana. Setelah menemukan satu keping koin, Jeno menyerahkannya pada genggaman Jisung. Kedua telapaknya saling mengepal di depan dada. Sambil terpejam, Jeno berucap pelan, “Dewa Kodok, tolong bikin Jisung nggak ngambek lagi sama gue.”

Jisung hanya punya dua tempat untuk kabur. Pertama, kamar Haechan.

Jeno melesat melewati dua blok gedung asrama untuk sampai ke sana. Megap-megap berlarian menaiki tangga sebab di hari Sabtu dan Minggu semua lift dimatikan.

Sesuai dugaan, Jisung sudah pergi. Tentu saja, Jisung tahu kalau Jeno akan menghampirinya ke kamar Haechan.

Kedua, untungnya Haechan bermulut ember. Jeno betulan menemukan Jisung di samping asrama mereka. Terlalu kecil untuk disebut rawa, tapi terlalu besar untuk disebut kolam ikan. Pokoknya, genangan air buatan penuh berbatuan itu adalah tempat para mahasiswa sering melempari koin dan berdoa memohon pinta pada entitas yang tak kasat mata.

Punggung Jisung nampak loyo dan mengkhawatirkan, berjongkok pada satu batu besar di tengah. Jeno melempar sebuah kaleng yang terhubung dengan benang membentang berujung pada kaleng lain di genggamannya.

Bising keletung pertemuan kaleng dan batu sontak mengalihkan perhatian Jisung. Badannya berbalik cepat.

Sia-sia saja kekhawatiran Jeno. Anak itu, sama sekali tidak terlihat sedang sedih apalagi galau. Justru di telapaknya terkumpul beberapa keping koin setengah basah. Rupanya sedang mengutil.

Namun begitu, Jisung tetap menggapai kaleng yang diberikam Jeno. Sedikit mendengus geli, sebab telepon itu punya kenangan tersendiri. Dulu sekali, keduanya pernah bertengkar cukup hebat. Gengsi yang sama-sama selangit, tidak ada yang mau mengalah untuk mengaku salah. Hingga di satu titik, Jisung sadar bahwa memang dirinya lah yang salah. Kadung malu, Jisung malu untuk minta maaf secara langsung. Maka terciptalah alat sederhana itu. Malam-malam dia melempar satu kaleng ke ranjang Jeno yang setengah terlelap. Meminta maaf dengan cara paling unik sedunia.

Jisung tidak menyangka bahwa Jeno masih menyimpan semua ini.

ㅤ “Jadi Dewa Kodok yang disembah anak-anak tuh elo, Park Jisung.”

Jisung adalah Jisung yang selalu nyengir tanpa dosa. “Nggak baik tau buang-buang duit tuh, polusi air juga, polusi tanah! Mending gue manfaatin sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan.”

Jeno hanya geleng-geleng. Ia bangkit, pelan melompati bebatuan menyusul singgasana Jisung.

Dua hal yang Jisung pikirkan saat menarik diri dari kerumunan bersama Renjun adalah; antara mendesak lelaki itu masuk ke kamar atau menghimpitnya pada sekat lorong sekarang juga.

Birahinya menulikan hingar bingar pesta. Malam ini dia dapat jackpot. Jisung beserta title playboy-nya itu selalu dapat apa yang dia mau. Laki-laki, perempuan. Bermodal gestur kecil dari jemari panjangnya, atau lidahnya yang sengaja dijulurkan, atau sesederhana kedipan sebelah mata. Semua lutut luluh lantak di bawah tubuh jangkungnya.

Pun demikian, Jisung tidak pernah memaksa. Mereka mereka-lah yang memohon. Justru yang begitu, Jisung tidak pernah merasa puas. Bukan lega, ada hampa dalam gairahnya pada tiap-tiap pelepasaannya.

Jisung sudah menaruh mata pada ketua kelasnya, Renjun, sejak keduanya berada di kelas yang sama pada tahun terakhir SMA. Pria kutu buku itu nampak sama sekali tidak terpengaruh akan presensi seksualnya.

Itu cukup menegangkan. Jisung membayangkan sensasi bercumbu dengan Renjun mungkin akan menyenangkan. Membayangkan Renjun menatapnya sayu dalam balutan kacamata tebalnya. Membayangkan Renjun dengan amatir mengulum kejantanannya. Membayangkan hidung bangir Renjun menghirup bulu-bulu pubisnya.

Malam ini dia dapat jackpot.

Pada malam terakhirnya sebagai siswa SMA, lagi-lagi, Jisung selalu dapat apa yang dia mau. Fantasinya akan Renjun menjadi nyata. Minus Renjun yang sama sekali tidak amatir, sama sekali jauh dari bayangan Jisung.

Juga banyak hal-hal lain yang jauh dari bayangan Jisung. Saat di sela-sala hisapan pada penisnya, satu jari Renjun menerobos memasuki lubang analnya.

“Renjun, what the fuck!? Gue top!”

“Gue juga.” Masih dengan satu jarinya yang tertancap, Renjun mendorong Jisung untuk merebah. “And I always be.”

Juga banyak hal-hal lain yang jauh dari bayangan Jisung. Saat telapak hangat Renjun melingkupi tonjolan di dada kanannya, memainkannya kasar, beriringan dengan lubangnya yang dikoyak semakin ganas. Lengkingan cabul dari pita suaranya sendiri yang biasanya mengerang berat, Jisung tidak pernah membayangkannya.

Jisung bisa dengan mudah memberontak. Badannya jauh lebih besar dan perkasa dibanding Renjun. Di antara banyak hal yang jauh dari bayangan Jisung, bayangan akan dirinya yang pasrah dan sama sekali tidak berusaha mengelak dari kukungan Renjun adalah yang paling tidak masuk akal.

Lebih lagi pada bisikan Renjun di samping rahang tegasnya.

“Lo sadar nggak sih, kalau cocok banget di bawah gini. Messy and sexy.”

Nyatanya, Renjun juga punya bayangannya sendiri. Di mata Renjun, Jisung tidak lebih dari anak tengil yang centil dan genit, yang sama sekali tidak punya aura dominansi. Juga, “Separuh dari orang-orang di luar kamar ini pernah lo entotin. Bayangin mereka liat lo keenakan sampe bego gini cuma gara-gara lubangnya diobok-obok pake jari.”

Jisung menggeleng kuat, mulutnya yang menganga penuh saliva, patah-patah memohon, “P-please…”

“No, no. Gue nggak akan berhenti. Gue tau lo juga mau.”

Susah payah Jisung membuka mata, menatap Renjun sayu dan kelam.

“No… Please fuck me.”

Renjun menyeringai menang. Ia bubuhkan satu kecup pada bibir Jisung.

“Cute boy.”

Of course Renjun will fuck him.

And just like that, the fuckiest fuck boy in school, Jisung, getting fucked.

And just like that, hampa dalam gairahnya dipenuhi oleh sensasi-sensasi baru yang diberikan Renjun.

Tiit!

Lampu putih tanda kamera mungil di tangan Jisung sudah menyala.

Camera check.

Lewat monitor kecil, Jisung memindai penampilannya—Rambut rapih sedikit belah samping, wajahnya dipoles riasan tipis dengan lip tint berwarna peach.

Ganteng check.

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Tapi bukan Jaemin hyung yang gantiin, Sung…”

Eh?


Belum sempat bahkan dirinya menghapus riasan sisa pemotretan, mulut Jeno sudah sibuk mengunyah cupcake ke-tiga-nya.

Fokusnya pada kecapan rasa manis teralihkan saat mendengar langkah santai mendekati dapur.

Itu Jaemin dengan sebuah tas jinjing brand sport ternama—sepertinya baru pulang dari gym.

“Wah, ada kue, nih…”

“Iya, Jisung yang bikin tadi pagi.”

Mendengar nama Jisung, Jaemin menjentikkan jarinya teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong soal Jisung, bener kata lo, Jen.”

Jeno melirik nyanyang pada Jaemin. “Hah? Kata gue? Kata gue yang mana?”

“Yang waktu itu, abis latihan koreo ‘kan lu bablas syuting konten. Terus nitip pesen ke gue suruh ngecekin kaki Jisung. Ternyata emang sebelumnya jempol dia udah luka. Nggak parah sih, makanya nggak ada yang sadar. Untungnya lo merhatiin, Jen.”

Jeno mengangguk paham. “Kok bisa luka gitu dia?”

“Nabrak kasur. Lampu kamar dia mati Jen, gelap katanya nggak keliatan jalannya.”

Dua pemuda seumuran itu beradu kekeh, menertawakan Jisung beserta kebiasaan cerobohnya.

Tak lama, Jeno bangkit bediri, melangkah hendak keluar.

“Loh Jen, mau ke mana lu? Orang baru balik juga.”

ㅤ “Mau beli lampu bentar di toko bawah.”

ㅤ “Cupcake-nya?”

“Lu abisin aja, Jaem. Gue udah kenyang.”

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Tapi bukan Jaemin hyung yang gantiin, Sung…”

Eh?


Belum sempat bahkan dirinya menghapus riasan sisa pemotretan, mulut Jeno sudah sibuk mengunyah cupcake ke-tiga-nya.

Fokusnya pada kecapan rasa manis teralihkan saat mendengar langkah santai mendekati dapur.

Itu Jaemin dengan sebuah tas jinjing brand sport ternama—sepertinya baru pulang dari gym.

“Wah, ada kue, nih…”

“Iya, Jisung yang bikin tadi pagi.”

Mendengar nama Jisung, Jaemin menjentikkan jarinya teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong soal Jisung, bener kata lo, Jen.”

Jeno melirik nyanyang pada Jaemin. “Hah? Kata gue? Kata gue yang mana?”

“Yang waktu itu, abis latihan koreo ‘kan lu bablas syuting konten. Terus nitip pesen ke gue suruh ngecekin kaki Jisung. Ternyata emang sebelumnya jempol dia udah luka. Nggak parah sih, makanya nggak ada yang sadar. Untungnya lo merhatiin, Jen.”

Jeno mengangguk paham. “Kok bisa luka gitu dia?”

“Nabrak kasur. Lampu kamar dia mati Jen, gelap katanya nggak keliatan jalannya.”

Dua pemuda seumuran itu beradu kekeh, menertawakan Jisung beserta kebiasaan cerobohnya.

Tak lama, Jeno bangkit bediri, melangkah hendak keluar.

“Loh Jen, mau ke mana lu? Orang baru balik juga.”

ㅤ “Mau beli lampu bentar di toko bawah.”

ㅤ “Cupcake-nya?”

“Lu abisin aja, Jaem.”

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Tapi bukan Jaemin hyung yang gantiin, Sung…”

Eh?


Belum sempat bahkan dirinya menghapus riasan sisa pemotretan, mulut Jeno sudah sibuk mengunyah cupcake ke-tiga-nya.

Fokusnya pada kecapan rasa manis teralihkan saat mendengar langkah santai mendekati dapur.

Itu Jaemin dengan sebuah tas jinjing brand sport ternama—sepertinya baru pulang dari gym.

“Wah, ada kue, nih…”

“Iya, Jisung yang bikin tadi pagi.”

Mendengar nama Jisung, Jaemin menjentikkan jarinya teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong soal Jisung, bener kata lo, Jen.”

Jeno melirik nyanyang pada Jaemin. “Hah? Kata gue? Kata gue yang mana?”

“Yang waktu itu, abis latihan koreo ‘kan lu bablas syuting konten. Terus nitip pesen ke gue suruh ngecekin kaki Jisung. Ternyata emang sebelumnya jempolnya udah luka. Nggak parah sih, makanya nggak ada yang sadar. Untungnya lo merhatiin, Jen.”

Jeno mengangguk paham. “Kok bisa luka gitu dia?”

“Nabrak kasur. Lampu kamar dia mati Jen, gelap katanya nggak keliatan jalannya.”

Dua pemuda seumuran itu beradu kekeh, menertawakan Jisung beserta kebiasaan cerobohnya.

Tak lama, Jeno bangkit bediri, melangkah hendak keluar.

“Loh Jen, mau ke mana lu? Orang baru balik juga.”

ㅤ “Mau beli lampu bentar di toko bawah.”

ㅤ “Cupcake-nya?”

“Lu abisin aja, Jaem.”

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Tapi bukan Jaemin hyung yang gantiin, Sung…”

Eh?


Belum sempat bahkan dirinya menghapus riasan sisa pemotretan, mulut Jeno sudah sibuk mengunyah cupcake ke-tiga-nya.

Fokusnya pada kecapan rasa manis teralihkan saat mendengar langkah santai mendekati dapur.

Itu Jaemin dengan sebuah tas jinjing brand sport ternama—sepertinya baru pulang dari gym.

“Wah, ada kue, nih…”

“Iya, Jisung yang bikin tadi pagi.”

Mendengar nama Jisung, Jaemin menjentikkan jarinya teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong soal Jisung, bener kata lo, Jen.”

Jeno melirik nyanyang pada Jaemin. “Hah? Kata gue? Kata gue yang mana?”

“Yang waktu itu, abis latihan koreo kan lu bablas syuting konten. Terus nitip pesen ke gue suruh ngecekin kaki Jisung. Ternyata emang sebelumnya jempolnya udah luka. Nggak parah sih, makanya nggak ada yang sadar. Untungnya lo merhatiin, Jen.”

Jeno mengangguk paham. “Kok bisa luka gitu dia?”

“Nabrak kasur. Lampu kamar dia mati Jen, gelap katanya nggak keliatan jalannya.”

Dua pemuda seumuran itu beradu kekeh, menertawakan Jisung beserta kebiasaan cerobohnya.

Tak lama, Jeno bangkit bediri, melangkah hendak keluar.

“Loh Jen, mau ke mana lu? Orang baru balik juga.”

ㅤ “Mau beli lampu bentar di toko bawah.”

ㅤ “Cupcake-nya?”

“Lu abisin aja, Jaem.”