millkitazoldyck

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Tapi bukan Jaemin hyung yang gantiin, Sung…”

Eh?


Belum sempat bahkan dirinya menghapus riasan sisa pemotretan, mulut Jeno sudah sibuk mengunyah cupcake ke-tiga-nya.

Fokusnya pada kecapan rasa manis teralihkan saat mendengar langkah santai mendekati dapur.

Itu Jaemin dengan sebuah tas jinjing brand sport ternama—sepertinya baru pulang dari gym.

“Wah, ada kue, nih…”

“Iya, Jisung yang bikin tadi pagi.”

Mendengar nama Jisung, Jaemin menjentikkan jarinya seperti teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong soal Jisung, bener kata lo, Jen.”

Jeno melirik nyanyang pada Jaemin. “Hah? Kata gue? Kata gue yang mana?”

“Yang waktu itu, abis latihan koreo kan lu bablas syuting konten. Terus nitip pesen ke gue suruh ngecekin kaki Jisung. Ternyata emang sebelumnya jempolnya udah luka. Nggak parah sih, makanya nggak ada yang sadar. Untungnya lo merhatiin, Jen.”

Jeno mengangguk paham. “Kok bisa luka gitu dia?”

“Nabrak kasur. Lampu kamar dia mati Jen, gelap katanya nggak keliatan jalannya.”

Dua pemuda seumuran itu beradu kekeh, menertawakan Jisung beserta kebiasaan cerobohnya.

Tak lama, Jeno bangkit bediri, melangkah hendak keluar.

“Loh Jen, mau ke mana lu? Orang baru balik juga.”

ㅤ “Mau beli lampu bentar di toko bawah.”

ㅤ “Cupcake-nya?”

“Lu abisin aja, Jaem.”

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Tapi bukan Jaemin hyung yang gantiin, Sung…”

Eh?


Belum sempat bahkan dirinya menghapus riasan sisa pemotretan, mulut Jeno sudah sibuk mengunyah cupcake ke-tiga-nya.

Fokusnya pada kecapan rasa manis teralihkan saat mendengar langkah santai mendekati dapur.

Itu Jaemin dengan sebuah tas jinjing brand sport ternama—sepertinya baru pulang dari gym.

“Wah, ada kue, nih…”

“Iya, Jisung yang bikin tadi pagi.”

Mendengar nama Jisung, Jaemin menjentikkan jarinya seperti teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong soal Jisung, bener kata lo, Jen.”

Jeno melirik nyanyang pada Jaemin. “Hah? Kata gue? Kata gue yang mana?”

“Yang waktu itu, abis latihan koreo kan lu bablas syuting konten. Terus nitip pesen ke gue suruh ngecekin kaki Jisung. Ternyata emang sebelumnya jempolnya udah luka. Nggak parah sih, makanya nggak ada yang sadar. Untungnya lo merhatiin, Jen.”

Jeno mengangguk paham. “Kok bisa luka gitu dia?”

“Nabrak kasur. Lampu kamar dia mati Jen, gelap katanya nggak keliatan jalannya.”

Dua pemuda seumuran itu beradu kekeh, menertawakan Jisung beserta kebiasaan cerobohnya.

Tak lama, Jeno bangkit bediri, melangkah hendak keluar.

“Loh Jen, mau ke mana lu? Orang baru balik juga.”

ㅤ “Mau beli lampu bentar di toko bawah.”

ㅤ “Cupcake-nya?”

“Lu abisin aja, Jaem.”

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Bukan Jaemin hyung yang gantiin, Jisung…”

Eh?


Belum sempat bahkan dirinya menghapus riasan sisa pemotretan, mulut Jeno sudah sibuk mengunyah cupcake ke-tiga-nya.

Fokusnya pada kecapan rasa manis teralihkan saat mendengar langkah santai mendekati dapur.

Itu Jaemin dengan sebuah tas jinjing brand sport ternama—sepertinya baru pulang dari gym.

“Wah, ada kue, nih…”

“Iya, Jisung yang bikin tadi pagi.”

Mendengar nama Jisung, Jaemin menjentikkan jarinya seperti teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong soal Jisung, bener kata lo, Jen.”

Jeno melirik nyanyang pada Jaemin. “Hah? Kata gue? Kata gue yang mana?”

“Yang waktu itu, abis latihan koreo kan lu bablas syuting konten. Terus nitip pesen ke gue suruh ngecekin kaki Jisung. Ternyata emang sebelumnya jempolnya udah luka. Nggak parah sih, makanya nggak ada yang sadar. Untungnya lo merhatiin, Jen.”

Jeno mengangguk paham. “Kok bisa luka gitu dia?”

“Nabrak kasur. Lampu kamar dia mati Jen, gelap katanya nggak keliatan jalannya.”

Dua pemuda seumuran itu beradu kekeh, menertawakan Jisung beserta kebiasaan cerobohnya.

Tak lama, Jeno bangkit bediri, melangkah hendak keluar.

“Loh Jen, mau ke mana lu? Orang baru balik juga.”

ㅤ “Mau beli lampu bentar di toko bawah.”

ㅤ “Cupcake-nya?”

“Lu abisin aja, Jaem.”

Jeno memarkirkan mobilnya tergesa. Tubuh gagah dengan balutan mantel kulit teranyar itu buru-buru menderapkan langkah.

Perjalanannya singkat, namun deru napas beratnya bak marathon berkilo-kilo meter jauhnya.

Satu tarikan napas panjang, lalu dihembuskan bersama dengan kakinya yang mantap mendekat ke arah taman asrama—tempat tinggalnya dan member grupnya.

Rinai salju, udara dingin… Raga Jeno seketika membeku, bergeming dengan tatapan sendu. Meleleh oleh hatinya yang memanas tatkala melihat Jisung nyaman dalam dekapan lengan Jaemin. Senyum manisnya terukir indah pada tepukan-tepukan pelan yang Jaemin bubuhkan pada surai peraknya.

Tak ingin serakah dan egois dengan mempertaruhkan senyum Jisung, Jeno memilih mundur.

Tak ingin bahagia kesayangannya itu luntur.

Kepalanya menunduk menahan pilu, menatap nanar pada seikat bunga dalam genggaman. Malam ini, Jeno bernasib sama, dengan si mawar yang tak sempat menyampaikan pesan-pesan cinta.


Jisung melepas jaket tebalnya setelah hembusan hangat menyelimuti tubuhnya sesaat setelah memasuki asrama.

Pergerakannya pada kenop pintu kamar terhenti untuk menginterupsi langkah Jaemin menuju kamar mandi.

“Hyung…”

“Hm?” Jaemin memusatkan atensi pada Jisung, dua alisnya terangkat bertanya.

By the way, makasih udah gantiin lampu kamar Jisung,” ucap yang lebih muda dengan senyum tulus.

Jaemin memiringkan kepalanya, sebelum menyunggingkan tawa yang nyaris tak tampak.

“Bukan Jaemin hyung yang gantiin.”

Eh?


ㅤ “Terus abis itu mereka beneran diarak keliling komplek pake kostum hiu, ‘kan? Anjrit, gue masih inget banget.” Gelak tawa khas dari yang paling tua menggema di gedung pernikahan yang sudah sepi tamu. Menyisakan lima insan yang terduduk melingkar di meja bundar, asyik membuka lembar-lembar album nostalgia semasa ngekos bersama.

“Mana pas itu sore-sore rame anak kecil lagi main. Beneran jadi badut hiburan komplek.” Timpa lelaki berkulit madu di sebelah.

Si paling muda, yang menjadi bahan pergunjingan hanya tersenyum simpul.

Masa-masa penghujung remajanya… Ah, benar-benar seru dan banyak kenangan yang bisa diceritakan ke anak cucu.

ㅤ Langkah mendekat dari sosok berjas hitam fancy dengan riasan yang memperelok wajahnya, mengalihkan atensi lima pasang mata yang sedang dihampirinya.

Lelaki ini memang sedang menjadi raja, sedang menjadi pusat atensi untuk hari ini.

“Ngobrolin apaan, sih? Kok keliatan heboh banget?”

“Ini, flashback zaman ngekos bareng dulu. Pas Jidan sama—“ ucapan Hugo terpotong saat menyadari adanya eksistensi lain yang mengekori sang pengantin baru. Bibirnya terlipat masuk, terkejut.

Keempat yang lain sama terkejutnya. Tidak menyangka bahwa tamu spesial ini akan datang.

Hening. Kalau melanjutkan obrolan soal nostalgia kos, mungkin dia yang menyimpan paling banyak rasa pahit.

ㅤ “Kok gitu banget reaksinya? Kehadiran gue tidak diharapkan, kah?” candanya disertai kekehan dengan suara berat.

Ia menarik satu kursi, mendudukkan diri di samping lelaki yang sejak kehadirannya tadi terus menundukkan wajah, tak berani bersinggung tatap.

“Bang Markus, Hugo, happy wedding ya, sorry dulu nggak bisa dateng,” ucapnya pelan sambil menyodorkan sebuah kotak biru navy berukuran sedang.

“Thank you dude, nggak perlu repot-repot harusnya, udah lama juga gue kawinnya.”

Tanpa perlu bertukar opini satu sama lain, enam pria itu sepakat dengan pemikiran yang sama.

Auranya beda banget sama yang dulu. Jauh lebih berwibawa.

Gini ya, hasil pergaulan 7 tahun di London?

Canggung masih mendominasi. Ya gimana, masalahnya, mereka dan sosok ini berpisah dengan cara yang sedikit… tidak harmonis.

Lulus paling dulu, tiga setengah tahun. Bahkan membalap Markus yang lulus dengan dua digit semester.

Tidak pamit, tidak pernah cerita, tiba-tiba upload story di bandara, punya kehidupan baru di negeri orang, lalu hilang kontak.

ㅤ Bukan marah, mereka hanya ditinggal dengan banyak tanda tanya di kepala, pun sebenarnya mereka semua yakin, jawabannya memiliki alasan berat yang sulit dijelaskan. ㅤ

“Apaan, nih!?” Suara Hugo memecah sunyi yang sedari tadi melingkupi.

Tangannya mengangkat tinggi-tinggi baju bunga-bunga yang terlihat seperti…

Daster hamil!?

“Gue denger-denger dari Leo, lu mau punya anak. Ya udah.”

“Brengsek! Gue mau adopsi bego! Lu pikir gue bisa bunting!?” Hugo melempar hadiah bajunya ke wajah tampan—mantan—teman satu kosnya itu. Mengundang tawa dari yang lain.

Mengundang suasana untuk mulai mencair.

Ternyata masih sama.

Najmi tetaplah Najmi.

“Bercanda bro, nih kado aslinya. Jelek lu marah-marah di hari bahagia orang lain.” Najmi menyodorkan sebuah paper bag mungil dengan brand perhiasan terkenal tercetak di sana.

Matanya kemudian mengedar, berhenti pada sosok jangkung yang di penghujung usia 20-annya masih terlihat… “Aduh, dedek Jidan masih gemesin aja!”

Netranya menangkap seikat bunga yang tergeletak manis di samping piring kue-kue Zidan. ㅤ

“Hmmm, bau-bau bentar lagi bakal kondangan lagi nih gue, kapan nyusul, Jie?”

“Ekhem!” Leo menyela.

“Bang, muter-muter makan dulu, yuk? Sate ayamnya enak banget, lu harus nyobain, deh.”

ㅤ “Sama gue aja.” Pria mungil yang sejak tadi diam di sebelah Najmi akhirnya bangkit berdiri.

“Lu pasti capek Le, seharian ketemu tamu. Biar gue aja yang nemenin Najmi.”


Najmi memandang lekat pada Arjuna, mengamati tiap mili pergerakan lelaki yang dengan telaten mengambilkannya dimsum.

Sejak kapan Arjuna jadi lemah lembut begini?

“Dateng ke sini sama siapa, Jun?”

“Nebeng Hugo.”

Najmi terkekeh geli. Arjuna ini, jiwa nebengnya masih dibawa sampai udah jadi om-om.

Sepiring dimsum sudah berpindah ke tangannya. Alih-alih kembali pada teman-teman yang lain, dua adam itu memilih untuk berdiri bersandingan di depan stand booth makanan.

“Masih sendiri, Jun?” tanya Najmi santai sambil mengunyah lumpia udang.

Kelewat santai, sampai-sampai Arjuna yang tidak sedang makan apapun nyaris tersedak.

Ia tahu betul arah pertanyaan Najmi ke mana.

Bukan, bukan perihal status dirinya yang masih single atau sudah ada yang punya.

Ia tahu betul maksud pertanyaan Najmi adalah dirinya yang selama ini selalu memenjarakan diri dalam belenggu kesendirian.

Arjuna menelan rasa grogi di ujung kerongkongannya. “Udah enggak, gue udah nggak apa-apa.”

Najmi mengangguk paham. “Terus? Kok masih sendirian?”

Nah, yang ini baru, pertanyaan soal statusnya.

“Nungguin orang yang tiba-tiba ilang dan nggak muncul-muncul.”

Najmi menoleh cepat. Tapi rasa GR-nya harus tertunda saat ia merasakan sebuah lengan merangkul pundaknya dan Arjuna secara bersamaan.

“Guys, it’s show time.”

Najmi mengangkat sebelah alis, melirik bingung pada Arjuna dan Hugo bergantian.

Dia baru datang. Nggak tau apa-apa.

Apa maksudnya akan ada penampilan artis papan atas? Tapi tamu-tamunya ‘kan sudah pada pulang?

Arjuna hanya membalas dengan senyum penuh makna, lalu menarik tangannya, mengikuti langkah Hugo yang memandu kakinya entah ke mana.


Zidan mungkin terlalu tua untuk dikatai sebagai anak ayam yang kehilangan induknya. Tetapi memang hanya itu istilah yang paling tepat untuk menggambarkannya sekarang.

Kepalanya menoleh ke sana ke mari. Entah bagaimana cerita dan kronologinya, tiba-tiba dirinya ditinggal sendirian. HPnya juga tidak di tangannya.

Rasa-rasanya ia pernah mengalami hal yang seperti ini sebelumnya.

Berpisah dari rombongan teman-teman kosnya dan tidak bisa menghubungi siapa-siapa.

Rasa deja-vu-nya meningkat saat suara intro gitar yang begitu familiar masuk ke gendang telinganya.

Matanya melotot lebar saat melihat sang abang berdiri di panggung dekat pelaminan. Lengkap dengan satu set gitarnya. Sendirian.

Sendirian, karena bandnya sudah bubar.

Makanya, nggak mungkin ‘kan abangnya jadi wedding singer di nikahan Leo? Ngapain?

Zidan cuma bisa bengong. ㅤ

My love towards you~ Adek, balik badan liat bawah, dek!”

Zidan makin bingung, bang Jaya di tengah-tengah nyanyian malah meneriaki dirinya.

Namun sebagai adik yang berbakti, ia menurut.

Baru saja badannya setengah berbalik, ia terperanjat kaget.

Zendra.

Pacarnya.

Berlutut di depan kakinya.

“Mas, kamu ngapain!?” Zidan bertanya hanya untuk mewakili rasa gugupnya. Dilihat bagaimana-pun, apa yang dilakukan Zendra sekarang, jelas sekali tujuannya ke mana.

Tapi, di sini banget? Sekarang banget?

Agak jauh di belakang Zendra, teman-temannya yang lain bergerombol.

Tidak berkontribusi apapun, cuma mau menonton.

It’s beautiful~

Ah, lagu ini. Zidan betulan jadi teringat kenangan manis di masa lalu.

Zendra meraih kedua tangan Zidan. Dielusnya sebentar, sebelum dengan gugup mendongak untuk menatap netra lelaki yang sudah dipacarinya hampir sepuluh tahun.

“Sepuluh tahun. Tepat sepuluh tahun yang lalu, di bulan Agustus, kita ketemu untuk yang pertama kali.”

Baru kalimat pembuka, tapi Zidan sudah merasakan ada basah yang menggenang di pelupuk matanya.

Zendra mengulurkan tangan untuk menyisir gelang hitam dengan inisial Z di pergelangan kiri Zidan. Gelang yang sama dengan yang dikenakannya.

“Gelang ini kamu dapetin waktu hari jadian kita.” Zendra memindai sekelilingnya sejenak. Menatap bang Jaya yang masih bernyanyi lembut.

“Suasananya mirip sama sekarang. Minus becek.”

Zidan tertawa bersamaan dengan satu air mata yang lolos menetesi pipinya. Ia ingat betul bagaimana dirinya kesal saat sepatu kets kesayangannya kotor karena menginjak genangan hujan di festival musik Fakultas Teknik.

“Sampe udah buluk banget saking lamanya kita pake.”

Zendra merogoh sesuatu di saku kemejanya.

Sebuah kotak bludru merah.

Zendra menatapnya lagi, tepat pada maniknya yang berkaca-kaca.

“Mau ganti yang baru aja, nggak?”

Zendra membuka kotak tersebut. Sebuah cincin platinum dengan ukiran cantik membentuk huruf Z dengan aksen butiran berlian kecil.

“Zidan. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, lima puluh tahun. Bahkan kalau umurku tinggal sehari, aku maunya dihabisin sama kamu.”

Zidan merasakan genggaman Zendra pada tangannya mengerat. Kentara sekali gugupnya.

Bahkan kalau ia boleh menebak, pacarnya itu pasti sudah menyiapkan script berminggu-minggu lalu. Dan hafalan luar kepalanya… Sekarang sudah betulan lenyap keluar dari kepala.

“Zidan, aku pengen kamu jadi orang terakhir yang aku lihat waktu nutup mata, dan jadi orang pertama yang aku lihat waktu buka mata.”

It’s beautiful~

It’s beautiful~

Zendra masih menatapnya lekat, memandangnya penuh sayang, sayang yang tidak pernah pudar.

Zendra, tidak pernah berubah.

Sama seperti Zendra sepuluh tahun lalu yang mengajaknya berpacaran dengan cara paling blak-blakan.

Zendra, tidak pernah berubah.

“Zidan, aku sayang banget sama kamu, ayo nikah.”

ㅤ Lalu, sama seperti dirinya sepuluh tahun lalu yang menerima ajakan berpacaran Zendra dengan cara lebih dari blak-blakan.

Zidan juga, tidak pernah berubah.

Ia menarik tengkuk Zendra. Memberikan ciuman singkat, menyalurkan seluruh buncah di hatinya sebagai bentuk jawaban iya.

Semua tentang mereka berdua masih sama.

Tidak pernah berubah.

Hanya satu yang menjadi pembeda. ㅤ

Tak ada lagi sembunyi-sembunyi.

Sebab…

ㅤ “Seluruh dunia harus tau kalo gue bakal jadi suami Jidan!!!!”

Gema tawa dan sedikit isak haru dari… Tunggu, kenapa tiba-tiba gedung nikahan Leo jadi ramai orang lagi?

Zidan tersipu dibalik dekapan erat calon suaminya pada tubuhnya.

Matanya melirik malu pada sobat satu kosannya yang melempar senyum bahagia.

Lalu pada abangnya yang menyanyikan bait terakhir lagu dengan suara sedikit tercekat. ㅤ

Words can’t describe~

This beautiful feeling~

Again.

Jisung menghela napas pasrah saat melihat isi kulkas kontrakannya. Jangankan mengharap pemenuhan gizi dan nutrisi, bahan santapan yang layak konsumsi saja nihil.

Lagian, apa yang bisa Jisung gantungkan pada teman-teman satu kontrakannya yang tabiatnya sebelas-dua belas dengan rombongan kuli. Perasaan, baru kemarin dirinya menyuplai telur ayam selusin, hari ini jajaran telur-telur di pintu kulkas itu sudah kosong melompong lagi.

Mereka ini tipe-tipe manusia yang hobi ngehabisin air dingin tapi nggak pernah mau ngisi. ㅤ

Syukurlah... Setidaknya, setidaknya masih ada sisa satu porsi nasi di dalam rice cooker. Jisung berniat untuk membeli lauk di gang sebelah, sebelum matanya menangkap seonggok gorengan di samping kompor.

Jujur, Jisung sebenarnya bukan tipe orang yang sembarangan makan makanan orang lain tanpa izin. Tapi karena hatinya sudah dongkol, dia nggak peduli lagi.

ㅤ Selesai makan—yang disebut Jisung sebagai omelette keasinan—tubuh jangkungnya asyik rebahan sambil menonton TV di ruang tengah. Sampai akhirnya ia merasakan pusing dan hilang fokus pada tayangan yang ada di hadapannya.

Jisung bangkit duduk dan merasakan tubuhnya menjadi seringan kapas. Denting notifikasi dari HPnya sedikit mendistraksi lelaki itu dari rasa melayang-layang.

Sayang, kelas aku masih jam 4. Mampir kontrakan kamu dulu, ya. Hehe.

Rupanya pesan dari pacarnya, Jaemin.

Jisung buru-buru mengetikkan balasan, sekalian mau minta tolong dibelikan obat sakit kepala. Tapi belum sempat jempolnya menekan tombol kirim, huruf-huruf pada layar HPnya tiba-tiba berlenggak-lenggok dan berterbangan.

Jisung mengerjap-ngerjapkan matanya kuat.

ㅤ Merasakan kepalanya benar-benar sakit. Lelaki itu memilih untuk kembali ke dalam kamar. Meski dalam perjalanannya—yang hanya lima meter—langkahnya terasa membal seperti berjalan di atas trampolin. Beberapa kali ia bahkan harus ngesot-ngesot karena hilang keseimbangan.

Jisung memejamkan matanya di atas kasur.

Baru sebentar, usaha tidurnya terusik karena merasakan ada suara gemuruh aneh dan getaran ekstrim dari bawah tempat tidurnya.

ㅤ Mata Jisung membelalak kaget.

Ada apa ini!? Aku di mana!?

Langit-langit kontrakannya mendadak berubah menjadi kepulan awan mendung dan hujan-hujan meteor. Kasurnya berubah menjadi tanah berumput, dan sekelilingnya... ㅤ

“AAAKKKHHH!!!! RHAMPHORHYNCHUS!!!”

Setidaknya dalam kondisi seperti ini, otaknya masih berfungsi aktif menghafal nama hewan purba.

Jisung sontak meringkuk tiarap menghindari sabetan reptil bersayap itu.

Pupilnya bergetar, pandangannya mengedar untuk mencari tempat berlindung. Sejauh mata memandang, yang didapatinya hanyalah populasi dinosaurus yang berlarian dengan panik—sama sepertinya.

“Jangan kiamat dulu dong, gue masih perjaka ting ting anjrit.”

ㅤ Di tengah porak-poranda, netranya menangkap sebuah pohon besar di samping tebing bebatuan.

Hap! hap! Susah payah dirinya berlari sambil melompat-lompat menuju tempat perlindungan.

HAP!

ㅤ Jaemin terlonjak bingung, pacarnya itu tiba-tiba menerjang dan menghambur memeluknya dari belakang sesaat setelah ia masuk ke dalam rumah.

Raut bingungnya berganti menjadi kekhawatiran saat menangkap ekspresi Jisung yang terlihat ketakutan dan penuh derai air mata.

Kepalanya langsung menoleh ke arah kamar Jisung, was-was ada orang jahat yang mengganggu kekasihnya.

Kakinya ia bawa ke sana. Baru dua langkah, dekapan Jisung pada pinggangnya terlepas.

ㅤ Jisung menatapnya nanar.

“Po-pohonnya tumbang,” lirih Jisung.

Wah, ada yang nggak beres, nih.

Jisungnya yang sedang tidak beres, dan Jaemin sadar akan hal itu.

Seakan tidak diberi waktu untuk memproses kejadian, Jisung sudah kembali berlarian, memaksa Jaemin untuk mengejar karena takut pacarnya itu menabrak sesuatu dan terluka. ㅤ

Jaemin memeluk erat tubuh Jisung setelah berhasil ditangkap.

Jaemin sedikit kewalahan, karena biar bagaimanapun, badan Jisung yang sedang meronta-ronta di pelukannya itu lebih besar dibandingkan dirinya.

ㅤ “Tolong! Gue dililit anaconda!”

“Jisung! Sadar! Ini aku Jaemin!”

“Jangan! Jangan makan gue!”

Sebenarnya Jaemin tidak tega, tapi tidak ada cara lain yang terpikirkan olehnya selain menampar-nampar pipi Jisung agar pacarnya itu kembali pada kewarasannya.

Dan sepertinya, mempan...

ㅤ Jisung berhenti memberontak, bahkan pupilnya sudah bisa fokus menatap Jaemin.

Jaemin tersenyum senang, pun Jisung membalas senyumannya tak kalah lebar sampai menunjukkan gusinya yang begitu menggemaskan.

“Es krim jumbo!” ㅤ

Ternyata tidak mempan...

Senyum Jaemin seketika sirna bersamaan dengan Jisung yang melahap rambut karamel beserta ubun-ubunnya.

“Jangan! Jangan makan gue!” deja vu, namun kali ini keluar dari bibir Jaemin.

ㅤ Sekuat tenaga, Jaemin berusaha mendorong Jisung ke kamarnya, membanting tubuh jangkung itu ke atas kasur dan buru-buru menduduki perut Jisung agar tidak bebas berkeliaran.

Sayang, maaf! Jaemin terpaksa membekap mulut Jisung karena tidak mau berhenti teriak. Kalau didengar tetangga 'kan takut menimbulkan fitnah.

ㅤ Satu tangan Jaemin yang lain merogoh saku celana, mengambil HP miliknya untuk menelpon siapapun yang bisa dimintai penjelasan baik mistis maupun ilmiah.

Hampir saja ia menelpon salah satu kenalannya yang punya darah dukun, sebelum matanya menangkap sebuah nama yang sepertinya lebih potensial.

Chenle kontrakan Jie

ㅤ “Halo, Jaem?”

“Chenle, ini Jisung kenapa!?” tanya Jaemin dengan oktaf yang sedikit meninggi di ujung kalimat karena panik.

“Emangnya Jisung kenapa?” Tersirat kebingungan dari nada bicara Chenle. ㅤ

“Jisung ngelantur! Kontrakan kalian angker, ya!? Jisung kayak orang kesurupan tapi kayak bukan kesurupan! Tadi yang ada di kontrakan siapa aja? Ada yang ngeliat Jisung aneh nggak tadi siang?” Jaemin berucap ngegas tanpa jeda. ㅤ

“Mabok kali anaknya!” Chenle ikutan ngegas.

“Jisung kalo mabok nggak gini! Nggak sampe jadi halu!” ㅤ

Hening.

ㅤ Hening cukup lama sampai Jaemin harus memanggil-manggil nama Chenle beberapa kali.

Mendengar kata halu, membuat Chenle teringat akan suatu hal.

“Mark-”


Jaemin memijit pelipisnya pening menyaksikan Jisung yang sekarang sedang duduk bertapa di samping wastafel dapur.

Mungkin dia pikir ini air terjun.

ㅤ Setelah mendengarkan asumsi Chenle tentang, “Mark tadi pagi masak magic mushroom, katanya mau dicobain ke temen-temen tongkrongannya. Jangan-jangan sisanya kemakan sama Jisung?” Adalah teori paling masuk akal bagi Jaemin. ㅤ

Dirinya sempat berusaha mencari 'Cara menghilangkan efek halusinasi magic mushroom' di google, kesimpulannya adalah...

Tidak ada usaha yang bisa dilakukannya selain menunggu.

Memaksa Jisung memuntahan makanannya pun tidak menjadi jaminan.

ㅤ Bersyukur, Jisung sudah tidak seaktif satu jam pertama tadi. Anak itu hanya berkeliling-keliling dengan skenario ajaib yang silih berganti.

Jisung yang tiba-tiba mengobrol dengan gayung. Kalau ini jujur Jaemin tidak heran, karena Jisung waras pun sering melakukannya.

Jisung yang tiba-tiba kayang, karena katanya, “Aku adalah busur 180 derajat!” ㅤ

Jisung yang tiba-tiba meliuk-liuk tidak jelas sebab, “Aku dikutuk jadi lumpur lapindo sama bunda.” ㅤ

Atau yang paling mending adalah bersemedi seperti sekarang. Tidak terlalu merepotkan Jaemin.

Terhitung hampir dua jam Jisung bertahan dengan skenarionya yang satu ini, duduk bersila sambil menutup mata. Kedua talapaknya membentuk kuncup aneh di atas paha. ㅤ

“Jisung, udah yu-”

“Ssshhhh!!!!”

Ucapan Jaemin langsung dipotong.

“Jaga sopan santun. Aku sedang memohon kepada dewa air, jangan buat dia murka.”

ㅤ Jaemin yang bosan jadi ikut menanggapi halusinasi sang kekasih. Hitung-hitung hiburan. “Emangnya memohon apa sih, kamu?” ㅤ

“Pacar yang setia.”

Jaemin terkekeh geli. Oke, ini seru.

Ia melangkah mendekat, dua lengannya bertumpu pada marmer, mengukung tubuh Jisung.

“Emangnya pacar kamu kurang setia?” tanya Jaemin tepat di depan wajah Jisung.

ㅤ “Terlalu ganteng, banyak saingannya.”

”'Kan kamu udah jadi pemenangnya, Sayang.” Jaemin mencolek dagu Jisung.

ㅤ Jisung tidak lagi menjawab, masih bergeming dalam posisinya.

Jaemin hanya tertawa lalu mencuri satu kecupan gemas dari bibir Jisung yang langsung membelalakkan matanya lebar. ㅤ

Jaemin kira, masa-masa terberatnya sudah lewat.

Perkiraannya salah, justru sekarang lah puncak cobaannya.

ㅤ Jisung mengalungkan tangannya pada leher Jaemin, menariknya mendekat lalu menjilati dan menggigit kecil daun telinga Jaemin.

Jaemin berusaha menmberontak, namun pingganya dikunci oleh dua kaki Jisung. ㅤ

“Jadi zombie... Jadi zombie...,” erang Jisung tepat di telinga Jaemin. ㅤ

Berbahaya, ini berbahaya. Zombie ini berbahaya!

Jaemin mengerahkan upaya maksimal untuk membuang segala gejolak aneh dan pikiran-pikiran jorok di otaknya. Inget Jaem, Jisung cuma lagi halu!

ㅤ Panik, Jaemin jadi ikut komat-kamit memohon pada dewa air untuk diselamatkan sebelum kebablasan. ㅤ

Doanya instan terkabul saat mendengar langkah kaki memasuki dapur. Chenle nampak terkejut dengan pemandangan yang tersuguh di hadapannya.

Jaemin menoleh, melambai-lambai memohon bala bantuan. “Chenle! Tolongin gue! Gue udah nggak kuat!”

ㅤ Dengan gesit, Chenle manghampiri sepasang manusia—dan zombie—itu.

Sekuat tenaga, tangannya menarik lengan dan kaki Jisung yang menahan Jaemin.

Merasa terusik, Jisung tiba-tiba berhenti, matanya nyalang menatap ke arah Chenle. Sejurus kemudian, Jisung sudah berganti target.

Tangannya menarik bahu Chenle. Jisung mendekatkan kepala berusaha mengggigit leher Chenle. ㅤ

“EH, ANJING!” Jaemin misuh-misuh. Ini bukan yang dia harapkan.

Kenapa jadi Chenle yang disosor pacarnya? Tau gitu mending dia aja nggak usah dilepas.

“Najisss!!! Najissss!!!!” Telapak tangan Chenle mendorong wajah Jisung menjauh.

“Enak aja lo ngatain cowok gue najis!”

“Terus emangnya lo mau, gue disosor Jisung begin- AAAAKKKHHH!” ucapan Chenle terpotong oleh teriakannya sendiri karena jarinya yang menahan kepala Jisung digigit kencang. ㅤ

“Jadi zombie... Grrrr.” ㅤ


Untungnya, sebelum mereka betulan—dengan terpaksa—melaksanakan ide gila Chenle untuk melakban mulut dan mengikat tubuh Jisung, lelaki itu sudah kehabisan energi sendiri dan terkapar tidur.

Jaemin yang kelelahan juga ikut berbaring di samping Jisung, sekalian berjaga kalau-kalau pacarnya itu tiba-tiba berubah jadi zombie lagi, 'kan panjang urusannya kalau nyosor-nyosor temen kontrakannya yang lain.

Panjang urusannya sama Jaemin.

ㅤ Sekitar dini hari, Jaemin baru bisa sedikit tenang dan tidur. Tapi belum sampai lima belas menit, ia merasakan ada sepakan maut yang menerjang pantatnya, sampai-sampai tubuhnya terjerembab ke lantai.

Jaemin mengaduh sakit, menoleh pada pelaku KDRT yang duduk tegang di atas kasur. Pikir Jaemin, dia halu lagi?

“Kamu habis ngapa-ngapain aku, ya!?”

Tuh 'kan, halu.

Bentak Jisung serak, sepertinya suaranya habis gara-gara kelakuan hyperactive-nya tadi sore. ㅤ

Dengan lemas, Jaemin bangkit berdiri, mengambilkan segelas air untuk Jisung minum.

“Nih, minum dulu, biar otak kamu jernih.”

Jisung masih melirik sangsi, tapi tetap menerima air yang disodorkan Jaemin.

Tubuhnya bergerak mundur saat Jaemin duduk kembali di pinggiran tempat tidur, tangannya yang sedang menggenggam erat selimut naik untuk menutupi dadanya.

Jaemin yang melihat polah Jisung hanya mendengus kesal. Begini upahnya setelah ngurusin Jisung edan enam jam dan dibela-belain bolos kuliah?

Jaemin capek, ia memilih untuk merebahkan punggungnya lagi di atas kasur. Toh, Jisung kayaknya udah kembali normal.

Tapi, lagi-lagi, badannya ditendang terhempas dari kasur.

ㅤ “Siapa yang ngijinin kamu tidur di atas kasur aku!?”

Jaemin mendongak, menatap Jisung dengan bibir mengerucut. “Aku nggak ngapa-ngapain kamu. Suer deh, yang.”

Jisung menunjuk-nunjuk Jaemin. “Terus kenapa kamu pake baju sama celana aku? Terus kamu ngapain jam segini ada di sini?”

Bukannya menjawab, Jaemin justru keluar kamar.

Jisung bingung, semakin bingung saat yang lebih tua kembali dengan sebuah gayung ungu berbentuk love di genggamannya. ㅤ

“Tanya bestie kamu, nih,” ucap Jaemin sambil menyodorkan gayung di depan wajah Jisung.

Jisung merebut gayung dari tangan Jaemin. Apaan sih, dasar orang aneh!

Tunggu.

Sekelebat memori tiba-tiba terbayang.

Jisung menoleh untuk menatap Jaemin yang memandanginya datar dengan bersedekap dada.

Oh, no.

Klontang!

Jisung sontak melempar gayung di tangannya disertai dengan pekik tertampar realita.

Lelaki itu menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh jangkungnya, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, memunggungi Jaemin.

Menyadari Jisung yang sudah ingat kelakuannya, bibir Jaemin melengkung naik.

Ia tengkurap, menghadap pada gumpalan di balik selimut bermotif tayo.

“Nuduh-nuduh sembarangan, padahal kamu yang ngapa-ngapain aku. Minta maaf kamu, yang,” ejek Jaemin.

“Iya, maaf,” lirih Jisung pelan.

“Apa, yang? Aku nggak denger.” Jaemin menarik selimut yang menutupi wajah merah Jisung.

“Iyaaaa iyaaaa, aku minta maaf!” Jisung masih memejamkan matanya rapat-rapat. Terlalu malu untuk menghadap Jaemin.

Jaemin terkekeh sebelum mencium pipi Jisung gemas. “Iya, aku maafin, kok.”

ㅤ “Ya udah, aku pulang deh, kalo gitu. Biar kamu bisa istirahat.” Jaemin berdiri, bersiap-siap untuk beranjak pergi. Tapi urung, saat tangannya ditarik Jisung.

“Jangan pergi dulu. Aku laper,” ucap Jisung dengan mata melas.

Jaemin menaikkan sebelah alisnya. Bibirnya menyunggingkan senyum jahil. ㅤ

“Terus? Kamu mau makan aku?” Yang langsung dihadiahi sambitan bantal dari Jisung.

“Maksudnya, ayo makan bareng dulu!”

Pelajaran pertama, jangan sembarangan mengambil yang bukan hak kita.

Pelajaran kedua, narkoba no, prestasi yes.

Seks

Apa tafsir yang kalian terjemahkan saat mendengar kata tersebut? ㅤ

Nafsu?

Kotor?

Nikmat?

Tabu? ㅤ

Atau... ㅤ

Cinta?

Seks memiliki jutaan makna pada juta-juta insan di bumi. Semesta, sebab siapa tahu alien di luar angkasa sana juga melakukan aktivitas serupa.

Seks bisa jadi utuh berlandas nafsu. Bisa jadi bermula atas kenikmatan dengan penyesalan yang menyusul. Apa alien punya rasa sesal juga?

ㅤ Seks bisa jadi bermakna ganda, pada nafsu dan cinta yang berjalan beriringan.

Pun pada Jisung, jutaan makna kala penyatuan tubuhnya dengan sang kekasih membaur meyatu bersamaan dengan jutaan kupu-kupu yang mengerubungi perutnya. ㅤ

Serangkaian kegiatan seksualnya tidak bisa diartikan dalam satu bait definisi KBBI, atau dalam 33 persamaan kata seks dalam tesaurus. ㅤ

Serangkaian

Ralat, bukan hanya saat penyatuan tubuh.

Perutnya sudah tergelitik sejak Jeno tersenyum malu-malu memegangi tengkuknya sendiri dan berdehem canggung sebelum berbisik, “Kita beneran mau ngelakuin itu? Malem ini?”

Ah, Jisung juga tidak jauh berbeda. Bahkan wajahnya yang memerah tidak berani berhadapan langsung dengan sang pacar. Kepalanya hanya mengangguk singkat tanda mengiyakan. ㅤ

Pipinya sudah menghangat sejak Jeno yang sama amatiran seperti dirinya, mempersiapkan dan menyuplai segala hal mulai dari yang paling penting hingga yang tidak terlalu dibutuhkan.

Seprei terpasang baru harum parfum laundry, lilin aromatherapy, mood lamp berbentuk bulan... Oh, Jisung juga punya satu yang sama persis di kamarnya.

Satu kotak kecil bernuansa merah dan sebuah botol lubricant terpampang nyata tergeletak di nakas kamar Jeno. Dua benda itu juga menjadikan tendensi keduanya berduaan di kamar menjadi sangat nyata, sekaligus memperjelas kecanggungan dan ketegangan di antara mereka. ㅤ

Namun tidak untuk waktu yang lama.

Kepala Jisung sudah dibuat berputar atas sentuhan-sentuhan Jeno pada tubuhnya, penuh kelembutan dan kehati-hatian. Karena bagi Jeno, Jisung sangat—terlalu—berharga. ㅤ

Jiwanya sudah lepas melayang ke awan pada setiap hentakan yang Jeno berikan. ㅤ

Yes, they did it. But, it doesn't end right here right now.

Dadanya masih penuh bermekaran bunga-bunga karena dihujani begitu banyak perhatian dan kasih sayang.

Bagaimana Jeno menggendong awak jangkungnya, membawanya ke kamarnya sendiri yang lebih bersih dibanding kamar Jeno yang sudah acak-acakan.

Bagaimana Jeno membasuh seluruh badannya dengan handuk hangat sebab terlalu letih untuk melangkahkan kaki ke kamar mandi.

Bagaimana Jeno merengkuh tubuhnya sepanjang malam, membawanya pada dekapan hangat dengan bibir yang tak henti-henti mengucapkan kata-kata manis sembari mengecupi setiap inci wajahnya. ㅤ

Matahari pagi menyelinap masuk melalui sela-sela tirai kamar Jisung. ㅤ

Sekarang gilirannya. ㅤ

Jemari lentiknya dengan lembut dan telaten mengoleskan salep pada goresan luka di punggung Jeno yang masih tertidur pulas. Luka bekas cakar yang diciptakan Jisung sendiri. Sesekali Jisung meringis membayangkan betapa kuatnya ia mencengkram bahu dan punggung sang kekasih tadi malam, hingga menimbulkan banyak guratan-guratan merah pada tubuh kekar itu. ㅤ

“Aw...”

Jisung sedikit tersentak mendengar rintihan pelan pada sosok di hadapannya. Jeno melirik linglung ke arah Jisung dan jam dinding. Loh, masih jam enam.

“Kok kamu udah rapi sih, Sayang?” Jeno menggeser tubuhnya, mendaratkan kepalanya di atas paha Jisung, telentang melanjutkan tidur. ㅤ

Jisung membelai surai legam di pangkuannya. “Kamu miring dulu sebentar, biar aku selesaiin dulu ngobatin punggungnya.”

Jeno menurut, ia memiringkan tubuh.

Bukannya memunggungi, justru ia berbalik memeluk erat pinggang ramping Jisung. ㅤ

“Miringnya ke sana, biar aku gampang ngolesin salepnya.”

Jeno menggeleng. “Nggak perlu.” Suaranya teredam karena wajahnya masih menempel pada perut rata Jisung.

“Nanti ngebekas...” ㅤ

“Biarin. Biar jadi tanda that I fucked my baby so good last night.” ㅤ

Jeno membuka sebelah matanya, mengintip wajah salah tingkah Jisung. Bibirnya melengkung jahil.

Jeno bangkit duduk hanya demi membisikkan kalimat godaan tepat di depan telinga merah pacar manisnya. “You gave me so much pleasure too, Baby.”

Jisung mendorong pelan dada Jeno, ia berdiri hendak kabur karena terlalu malu. Ia belum siap mental untuk diajak bernostalgia tentang kejadian tadi malam.

Namun tangannya langsung ditarik, ia kembali mendarat di kasur dengan posisi yang lebih berbahaya.

Jeno mengukung tubuhnya.

“Mau ke mana sih, buru-buru amat?”

“Keburu abang-abang yang lain pulang,” cicit Jisung.

“Kalau itu nggak usah khawatir, mereka pulangnya masih lama, jam 12.”

Jisung mengerutkan alisnya curiga. “Kok tau?” ㅤ

“Perjanjiannya emang jam segitu.”

Jangan bilang!?

Jisung memukul pelan lengan Jeno yang hanya dibalas dengan cengiran.

Pantes, kok tumben pada kompak ada acara di luar.

Jisung menggigit bibirnya grogi, pandangannya ia edarkan ke segala arah selain pada tubuh telanjang di atasnya. ㅤ

“T-tapi, pantat aku masih sakit.” ㅤ

Jeno terkekeh dan sejurus kemudian mencuri kecup pada pipi Jisung yang belakangan ini semakin gembul. Ia merebahkan diri di samping Jisung dan merengkuh tubuh itu erat. Hidungnya mendusal-dusal perpotongan leher Jisung. “Orang aku cuma pengen meluk kamu doang, kok. Dasar GR.”

Bukannya tersinggung, Jisung justru dibuat tersenyum. Ia memutar tubuh, membalas pelukan Jeno.

Jika Jisung hanya bisa memilih satu makna seks...

Baginya, seks adalah bahasa tubuh.

Bahasa cintanya yang tidak bisa disampaikan lewat kata-kata.

Tidak sampai setengah jam sejak pesan terakhir Arjuna, lelaki itu betulan sudah berdiri tegak di depan pagar kontrakan Jeffry.

Zendra tidak perlu bertanya, “Tau gue di sini dari mana?”

Mengingat teman kosnya itu adalah primadona kampus, juga melihat bagaimana wujud-wujud teman sekontrakan Jeffry. Zendra yakin, banyak mata-mata di tempat pengungsiannya ini.

Maka di sinilah dua anak adam itu sekarang. Duduk di kursi rotan depan teras yang sempit karena dijadikan lahan parkir. Zendra bahkan harus mengangkat sebelah kakinya ke atas kursi agar tidak terhimpit motor.

Waktu sudah berlalu beberapa menit, keduanya hanya saling diam.

Padahal, Zendra sudah mempersiapkan diri dengan berbagai kalimat protes seperti, “Emang apa urusan lu gue pacaran sama Jidan?” kalau-kalau Arjuna mencak-mencak melabraknya.

Tapi, melihat Arjuna datang dengan aura yang berbeda, Zendra memilih untuk diam sambil memeluk pahanya, menunggu pria mungil di sampingnya itu untuk bersuara.

ㅤㅤ “Kita tuh brengsek ya, Zen.”

Sungguh, kalimat yang ekstrim untuk mengawali percakapan.

Dikatai begitu, Zendra sontak menoleh.

Brengsek mah brengsek sendiri aja, kenapa bawa-bawa gue?

Lagi-lagi Zendra memilih diam saat pelototannya dibalas dengan sorot sendu. Saat itu pula, Zendra sadar bahwa Arjuna datang ke sini menenteng dua topik pembahasan yang berbeda. ㅤ

Zendra menegakkan tubuh sambil berusaha menapakkan kakinya ke lantai di sela-sela ban motor.

Ia menarik napas dalam dan membuangnya sebelum menatap lurus ke depan dan berucap tegas, “Gue sayang beneran sama Jidan.” ㅤ

Sama seperti Zendra, Arjuna juga menatap lurus ke arah jalanan. Bibirnya menyunggingkan senyum simpul.

“Yang kemarin… Jangan diulangin lagi.”

Zendra baru membuka bilah bibirnya hendak menjawab, tapi urung karena Arjuna malah menimpali kalimatnya sendiri. ㅤ

Sorry, justru gue yang ngulangin kesalahan lo,” tutur Arjuna, pandangannya sudah kembali terkunci pada Zendra.

Zendra memutar tubuhnya, menghadap fokus pada Arjuna.

“Nana cerita banyak ya, ke lo?”

Arjuna mendengus. “Cerita versi halusnya.” ㅤ

“Kalau gue cuma lagi bingung.” “Kalau lo cuma lagi bingung.”

Keduanya berucap bersamaan dan terkekeh singkat.

“Nana mana bisa sih Zen, cerita jelek-jeleknya orang.”

Zendra mengangguk pelan. “Dia orang baik.” ㅤ

“Dia selalu tulus sayang sama orang, tapi nggak pernah nerima rasa sayang yang sama.”

Atas pernyataan Arjuna, Zendra menyandarkan punggungnya ke tembok. Lengannya terangkat untuk menutupi setengah wajahnya.

“Bener kata lo Jun, kita brengsek. Cuma gue… Gue lebih brengsek.” ㅤ

Sama seperti kebingungan keluarganya saat Zidan diperkenalkan sebagai pacar ke rumah, Zendra juga pernah mempertanyakan orientasi seksualnya.

Di masa-masa itu lah, Najmi ada di sisinya.

Zendra pikir, Najmi adalah jawaban atas pertanyaannya.

Namun ternyata, ia mencoret jawaban yang salah sekaligus menorehkan luka.

Sebab hatinya, tidak pernah benar-benar berlabuh pada sang mantan.

“Jidan udah gue anggep adek sendiri. Beneran, tolong, jangan diulangin lagi,” ucap Arjuna final sebelum ikut bersandar pada tembok kontrakan.

Panjang umur. Sehat selalu.

Baru saja jadi bahan perbincangan, dari ekor mata Zidan dapat melihat Najmi yang berjalan memasuki dapur.

Helaan napas keluar dari bibir yang lebih tua, mungkin yang ke-sejuta kali dalam hari ini. Zidan yang mulai resah karena sejak kedatangannya kemarin diberi gestur sedemikian rupa, akhirnya angkat bicara.

“Emang kenapa sih, Bang?”

Najmi mengangkat kedua alisnya penuh tanya.

“Emang kenapa sih, kalau gue pacaran sama bang Zendra?”

Tatapan Najmi melembut, diraihnya pundak Zidan yang masih duduk di meja makan. “Ya enggak kenapa-kenapa. Tapi lo, nggak kenapa-kenapa kan, Ji?”

Mata Zidan memicing sangsi. “Emang kenapa-kenapa, kenapa?”

Remasan Najmi pada kedua pundak Zidan mengerat.

“Itu… Zendra ‘kan agak…”

“Agak kenapa!?” ucap Zidan tidak sengaja meninggikan suara di ujung kalimatnya karena was-was.

“Agak…”

Zidan menatap netra Najmi tajam, menunggu lelaki tersebut untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Zendra ‘kan agak mesum, Ji.”

Entah karena es krim yang ada di genggamannya, atau karena ucapan Najmi barusan, tapi gigi Zidan mendadak ngilu.

“Emang mesumnya gimana?” tanya Zidan bisik-bisik seperti mau bergosip.

Panjang umur. Sehat selalu.

Baru saja jadi bahan perbincangan, dari ekor mata Zidan dapat melihat Najmi yang berjalan memasuki dapur.

Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibir yang lebih tua. Zidan yang mulai resah karena sejak kedatangannya tadi diberi gestur sedemikian rupa, akhirnya angkat bicara.

“Emang kenapa sih, Bang?”

Najmi mengangkat kedua alisnya penuh tanya.

“Emang kenapa sih, kalau gue pacaran sama bang Zendra?”

Tatapan Najmi melembut, diraihnya pundak Zidan yang masih duduk di meja makan. “Ya enggak kenapa-kenapa. Tapi kamu, nggak kenapa-kenapa kan, Ji?”

Mata Zidan memicing sangsi. “Emang kenapa-kenapa, kenapa?”

Remasan Najmi pada kedua pundak Zidan mengerat.

“Itu… Zendra ‘kan agak…”

“Agak kenapa!?” ucap Zidan tidak sengaja meninggikan suara di ujung kalimatnya karena was-was.

“Agak…”

Zidan menatap netra Najmi tajam, menunggu lelaki tersebut untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Zendra ‘kan agak mesum, Ji.”

Entah karena es krim yang ada di genggamannya, atau karena ucapan Najmi barusan, tapi gigi Zidan mendadak linu.

“Emang mesumnya gimana?”