millkitazoldyck

Panjang umur. Sehat selalu.

Baru saja jadi bahan perbincangan, dari ekor mata Zidan dapat melihat Najmi yang berjalan memasuki dapur.

Helaan napas lagi-lagi keluar dari bibir yang lebih tua. Zidan yang mulai resah karena sejak kedatangannya tadi diberi gestur yang sedemikian rupa, akhirnya angkat bicara.

“Emang kenapa sih, Bang?”

Najmi mengangkat kedua alisnya penuh tanya.

“Emang kenapa sih, kalau gue pacaran sama bang Zendra?”

Tatapan Najmi melembut, diraihnya pundak Zidan yang masih duduk di meja makan. “Ya enggak kenapa-kenapa. Tapi kamu, nggak kenapa-kenapa kan, Ji?”

Mata Zidan memicing sangsi. “Emang kenapa-kenapa, kenapa?”

Remasan Najmi pada kedua pundak Zidan mengerat.

“Itu… Zendra ‘kan agak…”

“Agak kenapa!?” ucap Zidan tidak sengaja meninggikan suara di ujung kalimatnya karena was-was.

“Agak…”

Zidan menatap netra Najmi tajam, menunggu lelaki tersebut untuk menyelesaikan kalimatnya.

“Zendra ‘kan agak mesum, Ji.”

Entah karena es krim yang ada di genggamannya, atau karena ucapan Najmi barusan, tapi gigi Zidan mendadak linu.

“Emang mesumnya gimana?”

Menjadi mahasiswa dari institut teknologi nomor satu di negeri Kwangya, Jeno sudah terbiasa menjadi kelinci percobaan dari teman-teman satu kampusnya.

Bukannya terlalu bermurah hati, tapi dalam kodratnya sebagai makhluk sosial, Jeno sewaktu-waktu juga pasti akan membutuhkan uluran tangan dari orang lain.

Maka dari itu, sedini mungkin ia banyak-banyak membantu teman-temannya, agar kelak ia dapat menuai apa yang ia tanam.

Terdengar sangat pamrih, tapi memang begitu sistemnya, memang begitu kiat-kiatnya seluruh mahasiswa dapat bertahan di kampus super elite ini.

“You ready, Bro?” Sungchan memastikan sekali lagi. Pria jangkung itu berdiri di depan controller, siap menjalankan mesin ciptaannya.

Ngomong-ngomong soal mesin ciptaan Sungchan, mesin dengan kode N23-23-S27 itu digadang-gadang mampu menembus ruang dan waktu. Menurut teori Sungchan, kemungkinannya ada dua, terlempar ke universe lain atau melesat ke masa depan.

Setidaknya itu yang Sungchan ajukan dalam proposal proyek fisika relativitas kepada profesornya. Sekaligus menjadi kalimat persuasi untuk kelinci-kelinci percobaannya.

Termasuk Jeno.

Walaupun berulang kali Sungchan menjelaskan, bahwa mesinnya hanya memberi visi pada pikiran, raganya akan tetap berada di tempat, namun Jeno masih belum yakin sepenuhnya.

Jeno merasa ngeri dengan puluhan untaian kabel fiber yang berujung memusat pada helm di kepalanya. Jeno melirik Sungchan, tubuhnya tidak bisa banyak bergerak karena diikat kuat pada kursi.

Menangkap sinyal keraguan dari Jeno, Sungchan mendengus kesal. “Ayolah Jen, cuma 15 detik and then you’re done.”

“Done or die.” Ketus Jeno.

“You are not going to die, Jen.” Kali ini Sungchan tertawa renyah, setengah mengakui bahwa wujud mesin uji cobanya lebih mirip alat eksekusi mati.

Setelah diskusi yang cukup alot, Jeno mantap untuk melanjutkan partisipasinya. Rasa penasarannya juga besar, ingin melihat seperti apa dirinya di kehidupan yang lain.

Atau masa depan.

Bermodal satu pencetan Sungchan pada sebuah tombol biru tua, otak Jeno benar-benar seperti terlempar ke dunia lain.

Sorot hologram berpendar di dalam pikirannya. Menampilkan skenario-skenario yang…

“Anjing, mampus gue.”

15 detiknya sudah berakhir.

“Udah gue bilang, lu nggak bakal mati, Jen.” Sungchan berjalan mendekati kelinci percobaannya. Melepaskan helm serta kaitan pada tubuh Jeno.

“So, objek number 04, apa yang lo lihat selama percobaan tadi?”

Jeno bangkit berdiri, mengambil barang-barangnya bersiap untuk pergi.

“Jen, meskipun lo ngeliat yang jelek-jelek, gue tetep butuh buat data pengamatan!” Teriak Sungchan menahan Jeno yang sudah di ambang pintu.

Jeno menghela napasnya malas. Ia memutar tubuh, menatap datar pada Sungchan.

“Jelek banget. Gue ngeliat Jisung.”

Sungchan membelalak kaget.

“Jisung? Jisung ngapain?”

“Nggak tau, lupa. Kepala gue sakit. Lain kali siapin panadol buat objek penelitian lo,” ucap Jeno berbohong. Langkahnya terburu-buru melenggang keluar dari laboratorium.

Ia menghindari interogasi lebih dalam dari Sungchan, sebab dia tidak akan bisa menjawab.

Jangankan lidahnya yang kelu, untuk mereka ulang bayangan yang dilihatnya tadi saja buat bulu-bulu kuduk Jeno meremang.

Bayangan bagaimana dirinya saling mengadu tatapan mesra di bawah pohon bungur bersama teman satu kamarnya yang paling menyebalkan, Park Jisung.


Menjadi mahasiswa dari institut teknologi nomor satu di negeri Kwangya, Jeno sudah terbiasa menganalisa berbagai hal secara objektif dan kuantitatif. Tapi otak rasionalnya masih cerdas berpikir bahwa hal-hal subjektif seperti hati dan perasaan tidak bisa dinilai dengan perhitungan matematis.

Maka dari itu, dalam rangka menyangkal probabilitas dirinya bermesraan dengan sang roommate, notebook di hadapannya kini penuh kalimat-kalimat deskriptif dengan nama JISUNG—in capital—di banyak sudut kertas.

Minimnya pengalaman Jeno dalam urusan cinta tergambar jelas pada goresan di buku tulisnya, pada poin-poin yang menurut Jeno adalah alasan umum saat manusia menyukai seseorang.

JISUNG Dari Segi Tampang

• Ganteng (lumayan) • Mata kecil • Hidung mancung banget • Rahang tegas, tapi pipinya soft kayak mochi. Bibirnya juga plump-

Jeno buru-buru memberikan coretan brutal super besar pada catatan terakhirnya.

• Kalo pagi bibirnya banyak bekas iler

Perlu di-re-call dan patut digaris bawahi, bahwa catatannya adalah bentuk penyangkalan.

Kalau Jeno boleh tidak menyangkal, visual Jisung sebenarnya sangat potensial.

Dengan ataupun tanpa kacamata bulatnya, wajah Jisung sejujurnya sangat tampan.

Tapi, potensi itu tidak pernah diasah.

Sebagai teman sekamar, Jeno menjadi saksi atas penampilan terburuk maupun terbaik dari Jisung.

Terburuknya tidak benar-benar ter-, karena sudah menjadi keseharian Jisung.

Jisung sengaja memadatkan jadwal kuliahnya dari pagi sampai siang hari agar memiliki waktu luang yang bebas tanpa terpotong saat sorenya.

Tapi keputusannya itu menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Bagaimana tidak jika melihat bagaimana keosnya Jisung saat akan kelas pagi.

Bangun kesiangan.

Mandi super kilat yang bahkan tidak sempat untuk menyisir rambut.

Pakaian yang diambil asal dari gantungan baju, yang bahkan Jeno beberapa kali melihat ada noda bekas saos pada kerah kemeja Jisung.

“Iya, dipake buat pagi doang, nanti pas pergantian kelas ganti baju.” Begitu jawab Jisung saat Jeno memberi tahu.

Sampai Jeno capek menegur karena kemeja itu justru dipakai Jisung selama tiga hari berturut-turut.

Soal penampilan terbaik Jisung…

“Kamu nggak mencuri apapun milik aku, Le. Mungkin dari awal, takdir emang udah menunjuk Jeno untuk jadi milik kamu.” Jisung lugas memotong rentetan kata maaf yang Chenle lontarkan.

Semua penjelasan Chenle barusan, Jisung sudah tahu tanpa harus diuraikan kepadanya.

Jisung tahu, Jeno pernah dan masih mencintainya dengan begitu besar.

Jisung tahu, besarnya cinta Jeno, hanya bisa ditebus jika dirinya bahagia. Sedihnya hanya akan mengantarkan Jeno pada bui rasa bersalah.

Namun tak ada yang tahu, bahwa Jisung juga masih menyimpan cinta yang besar. Menjadi tahanan atas kepura-puraan yang diciptanya.

Setulusnya agar kekasihnya bebas, melangkah pada setapak berbunga. Meski tak beriringan, tak bergandeng tangan dengan dirinya.

Suara gemerincing mengiringi langkah kaki jangkung Jisung saat memasuki kafe berinterior industrial. Netranya menangkap satu sosok dalam balutan apron yang sedang sibuk mengelap meja bar.

“Waduh sorry, udah tutup, Om!”

Jisung hanya mendengus geli dan justru terus melangkah masuk, lalu menarik satu kursi untuk diduduki.

“Ada minum nggak, Jaem?”

Jaemin nyaris melontarkan gerutu, ”Ya ada lah, emang kafe gue keliatan kayak jual bensin?” Sebelum tatapannya bertubrukan dengan milik Jisung. Mata sipit lelaki itu mengisyaratkan sendu, jauh lebih redup dibanding biasanya.

Paham. Sang pemilik kafe memilih untuk memutar badan, mengambil sesuatu di ruangan belakang.

Jaemin kembali dengan sebotol soju dan sebuah gelas seloki di tangannya. Ia bergeming beberapa saat sebelum meletakkan kedua beling itu pada meja di hadapan Jisung. Banyak rasa cemas menyelimuti dadanya, mengingat sudah setahun lebih Jisung enggan sama sekali menyentuh alkohol.

Sebab alkohol lah, yang menjadi awal mula kehancuran hidupnya.

Alkohol lah, yang mengantarkan orang kesayangannya pada kepuasan yang khianat.


“Udah?” ucap Jaemin mendekati satu-satunya eksistensi pelanggan usai membersihkan dan menutup kafenya.

“Nambah lagi, dong.” Jaemin menghela napas. Dengan lembut, ia turunkan lengan Jisung yang terangkat mengangkat gelas soju.

Ia menyentil pelan kening Jisung. Betul-betul sangat pelan, sampai Jaemin terkejut, sentilannya menyebabkan Jisung oleng dan ambruk dengan wajah terkatuk meja.

Lagi-lagi Jaemin hanya mengehela napas.

Lagi-lagi Jaemin mengajukan pertanyaan yang sama, berulang setiap harinya.

“Udah? Udah pura-puranya?”

Yang ditanya masih menempelkan wajahnya pada meja, menggumam tidak jelas, sampai ritme napasnya mulai tak beraturan.

Jaemin menurunkan tubuhnya untuk bersimpuh, tangannya mengusap lembut pundak bidang Jisung yang bergetar, membiarkan lelaki itu meluruhkan semua duka yang selama ini ditahan.

Sepuluh? Dua puluh? Tiga puluh?

Tak terhitung berapa pekan sudah Jisung lalui untuk melakukan aksi yang sama berulang kali.

Hugo Kampus terang benderang sih Arjuna Kosan gerimis otw deres Hugo Sok memprediksi cuaca lu, emangnya BMKG?

. .

Zendra menutup ponselnya, kembali memfokuskan atensi pada lelaki yang sedang duduk di sebelahnya.

“Beneran mau nungguin sampe reda aja?” ucap Zendra sembari menggenggam tangan Zidan yang sedari tadi digosok-gosok oleh sang empunya akibat kedinginan.

“Huum.” Zidan hanya menggumam pelan lalu menyandarkan kepalanya ke bahu sang pacar.

Mereka baru saja menyelesaikan tugas sebagai kurir paket dagangan Leo, guna menebus rasa bersalah sudah ciuman sembarangan di tangga kos-kosan.

Berangkatnya pakai motor Zendra, jadilah hanya bawa satu jas hujan di jok motor. Zendra sudah menawarkan untuk mengorbankan diri, biar dia saja yang kebasahan. Toh, tadi hujannya masih belum deras-deras amat, waktu tempuh kos mereka juga kalau mode ngebut, tidak sampai dua puluh menit. Tapi, tentu usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Zidan.

Gitu-gitu, dia juga sayang banget sama pacarnya.

“Sayang…”

Nah, ini dia.

Ngomong-ngomong soal sayang, Zendra belakangan sedang belajar panggilan mesra—di luar kegiatan ranjang—. Zidan masih belum terbiasa, bukannya tidak suka, dirinya hanya merasa kelewat salting kalau dipanggil seperti itu.

“Sayang ih, dipanggilin diem aja.” ㅤ

“Iyaaa, kenapa, Sayang?”

Sekarang giliran Zendra yang terdiam, sibuk menahan cengiran lebarnya hanya karena dipanggil sayang.

Zidan memukul perut pacarnya pelan, terkekeh geli melihat Zendra yang kegirangan. “Nggak jelas lu!” ㅤ

“Ji, inget nggak? Kita pertama kali ketemu waktu kamu dateng ke kos itu juga hujan-hujan kaya gini.”

Zidan menjawab dengan anggukan kepala.

First impression kamu ke aku gimana?”

Tak butuh waktu untuk berpikir, Zidan spontan menjawab, “Jutek.”

Bukannya tersinggung, Zendra justru tertawa terbahak-bahak. “Itu mah karena aku grogi tau, ketemu orang gemes.”

Zidan merotasikan matanya malas, berbanding terbalik dengan telinganya yang memerah menahan malu.

“Bang, inget nggak? Kita juga pernah ngemper kaya gini di depan toko, pas ban motor aku bocor.”

Zendra menoleh ke samping, pada kepala yang sedang bersandar di bahunya. Ia memajukan wajahnya dan mengecup singkat puncak kepala Zidan. ㅤ

“Yang itu ‘kan? Inget banget, lah.” ㅤ ㅤ Aduh.

Maksud Zidan bukan bagian yang itu. Bukan bagian di mana Ia yang dahulu kala tiba-tiba mencium kening Zendra selepas ban motornya ditambal. ㅤ ㅤ

Zidan baru saja hendak menegakkan tubuhnya, namun kembali ditarik untuk tetap bersandar. “Jangan ngambek dong, nggak bakal aku ledekin, janji.”

ㅤ “Waktu itu juga kamu bikin permintaan pertama, ‘kan? Kamu masih punya sisa dua permintaan loh, lupa?”

Zidan semakin mendekapkan diri dan melingkarkan tangannya di lengan Zendra. “Buat apa? Udah nggak butuh, ‘kan aku udah punya kamu.”

Mendengar itu, Zendra rasanya ingin meleleh, melebur, membaur bersama genangan air hujan di parkiran Indomaret yang sedang mereka tumpangi untuk berteduh.

“Ya apa kek, siapa tau kamu kepingin sesuatu gitu.”

Zidan tiba-tiba mendongakkan kepalanya, matanya berbinar antusias dan bibirnya membentuk lengkungan jahil.

“Ada! Aku lagi kepingin sesuatu.”

Jika manusia tercipta dari kepingan beling-beling, maka Jisung bukanlah cerminan diri Jeno.

Jika entitasnya adalah pecahan abstrak, runcing pada setiap sisi menoreh luka. Maka, lain halnya dengan Jisung. Elok kacanya memantulkan cahaya benderang, terutama pada remang hidup Jeno.

ㅤ “Kamu udah bangun?” ㅤ Jeno bangkit dari tidurnya, sebuah handuk kecil terjatuh di pangkuannya. Sentuhan lembut menempel pada dahinya yang terasa berat.

“Masih anget dikit. Kamu tiduran lagi aja ya, aku mau manasin sop ayam dulu.”

Jeno menarik pergelangan tangan Jisung yang sudah siap-siap berbalik keluar kamar.

I’m sorry,” ucap Jeno sembari mengecup punggung tangan sang kekasih.

Tanpa kata, Jisung hanya membalas dengan senyuman hangat. Didorongnya pelan bahu Jeno untuk merebah, lalu meninggalkan satu kecupan penuh sayang pada keningnya. ㅤ Jika yang menyambut netranya terbuka adalah orang lain, Jeno tidak mungkin mendapatkan sentuhan-sentuhan lembut seperti sekarang. Bahkan untuk sekadar menangkap raut khawatir pun, Jeno tidak berani berharap. Tak ayal, yang didapatinya justru sumpah serapah dan sederet kalimat cacian, atau luka di ujung bibirnya yang semakin bertambah. ㅤ


ㅤ Jisung menyuapi Jeno dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, berhati-hati agar tidak menyenggol goresan kemerahan pada sudut bibirnya. Pacarnya itu bahkan beberapa kali merintih menahan perih saat mengunyah makanan.

Di mata Jisung, Jeno selalu seperti itu. ㅤ Jeno selalu menahan pilu.

Jika bagi banyak orang, runcing pada sosok Jeno hanya menyumbang luka. Dari kacamata Jisung, tajamnya diri Jeno adalah bentuk perlindungan, sebab dirinya lah yang paling sering tergores luka.

Telinga Jisung banyak menangkap bisik-bisik atau bahkan ujaran langsung. Tentang bagaimana,

“Jisung pantes dapet yang lebih baik.”

“Jisung kok masih mau ya sama Jeno?”

“Kamu nggak diapa-apain ‘kan sama dia?”

“Ngincer duitnya doang kali ya, yang kayak begitu masih depertahanin.”

Atau yang mendadak jadi juru nasehat. “Kamu nggak akan bisa mengubah orang lain, Jisung. Mending cari yang lain. Masih banyak cowok di luar sana yang mau sama kamu.”

Terus kenapa?

Jisung maunya sama Jeno.

Bahkan pada saat Jeno termakan bualan orang-orang, mengajukan pinta yang paling Jisung benci untuk kabulkan.

“Mereka bener Ji, mending kita udahan aja. Kamu pantes dapet yang lebih baik dari aku.”

Hatinya tak sedikitpun goyah.

Seperti baru kemarin, dirinya dan Jeno dilabeli sebagai couple goals kampus.

Yang utama, tentu saja dari segi fisik yang sama-sama rupawan.

Seperti baru kemarin, saat banyak orang menyuarakan rasa iri terhadap dirinya yang begitu dihujani kasih sayang dan dilingkupi oleh perlindungan Jeno.

Jeno selalu menjaganya.

Jeno tidak pernah menyakitinya.

Sakit yang Jeno bubuhkan pada Jisung hanyalah saat lelaki itu menyakiti dirinya sendiri.

Akarnya adalah saat retaknya hubungan kedua orangtua Jeno.

Sebagai anak satu-satunya, seluruh cinta orangtuanya berpusat pada dirinya seorang.

Tadinya.

ㅤ Sekarang, Jeno justru menjadi pusat pelampiasan papa dan mamanya.

Jeno menjadi tameng mama dari pukulan papa.

Jeno menjadi tameng papa dari bentakan mama.

Jeno menjadi target dari ratusan panah-panah pertengkaran sang papa dan mama.

Katakanlah Jeno tidak bersikap dewasa, tapi Jeno tetaplah anak orangtuanya.

Ia kekanakan dengan memberontak dan terperosok dalam jurang gelap.

ㅤ ㅤ

Jeno melingkarkan lengannya pada pinggang Jisung yang tengah merapikan wastafel kamar mandi.

Rumahnya tidak hanya hancur secara konotasi, namun juga betul-betul berantakan secara harfiah.

Seperti Jisung yang sedang membereskan rumahnya sekarang, Jisung juga yang selalu membereskan semua tingkah begajul Jeno.

Contohnya tadi malam. Meskipun ingatan Jeno berhenti pada peristiwa dirinya melampiaskan emosi dengan orang asing di club, namun Jeno yakin, yang mengurus masalah yang dibuatnya itu adalah si pria dalam rengkuhan.

Jeno mengecup pelan tengkuk Jisung, tangannya memeluk erat, seperti mencegah pergi takut ditinggalkan.

Netra sayunya melirik pada alat cukur di genggaman Jisung untuk ditata dalam kabinet.

Jisung menunjukkan sedikit raut bingung tatkala Jeno mengambil alih barang itu ke tangannya.

Sedikit tersentak, saat Jeno membuka tempat baterai dan menumpahkan seluruh isinya ke lubang wastafel.

Obat-obatan terlarang.

Jisung sudah melenyapkan semua yang Jeno simpan. Walaupun dalam diam, ia sebenarnya tahu, Jeno masih menyembunyikan beberapa.

Rasa kejutnya lebih karena Jeno sendiri lah yang beritikad untuk membuang barang yang menjadi candunya beberapa bulan belakangan.

Jisung memutar tubuhnya, menghadap pada Jeno yang menatapnya dalam.

“Aku mau rehab.”

Tiga kata.

Tiga kata yang sukses membuat air matanya pecah. Ia menarik Jeno ke dalam dekapan. Mengelus punggung lebar sang kekasih, memberi kekuatan, ia tahu ini berat dan tidak akan mudah.

Menghaturkan banyak terima kasih. Terima kasih karena mau berhenti menyakiti diri sendiri.

Pelukannya erat, memberi tahu bahwa apapun yang terjadi, Jisung akan selalu di sisinya. Akan selalu memeluk dengan sama eratnya.

Mungkin, mereka bukan tercipta dari kepingan beling-beling.

Mungkin, Jeno dan Jisung terjelma dari kelopak bunga-bunga sakura. Pada tiupan angin hangat bulan Maret. Kelopaknya tidak pernah sendirian.

Seperti bunga sakura mekar pada pergantian dari dinginnya musim.

Setelah ini, dalam jejak langkah baru dengan jemari yang saling terkait, yang ingin Jeno lihat hanyalah senyum merekah dari bibir manis Jisung.

“Anjir, Jen!”

Respon pertama dari tubuh Jaemin saat memasuki kamar Jeno adalah mata berkunang-kunang dan batuk sedang.

Kamar lelaki itu kondisinya sebelas dua belas dengan pabrik kimia yang mengalami kebocoran.

Jeno yang merasa terpanggil membalikkan badannya ke arah pintu kamar. Tangan kanannya masih menggenggam erat sebotol kaleng yang terlihat familiar. Familiar dan aneh di saat yang bersamaan, sampai membuat kedua alis Jaemin saling bertaut dalam.

“Lu ngapain nyemprot kecoa pake Stella, goblok!!??”

Jeno memutar kedua bola matanya malas. “Ya udah sih, sama aja, gue punyanya ini.”

Sumpah deh, pulang dari sini, bisa-bisa kentut Jaemin bau lavender.

“Sapu lo di mana?”

“Gue nggak punya sapu, kalau vacuum cleaner gimana?”

Jaemin memijit pelipisnya, semakin pusing dengan perbedaan level mereka berdua.

Tanpa basa-basi, Jaemin melangkahkan kakinya semakin masuk ke dalam kamar. Tangannya meraih asal penggaris segitiga dan kertas HVS A4 yang tergeletak di meja belajar.

Bak pawang kecoa, Jaemin dengan cekatan berhasil melumpuhkan serangga yang sudah setengah klepek-klepek itu dan membungkusnya dengan kertas, lalu buru-buru membuangnya ke tempat sampah yang ada di luar kamar.


“Makasih ya, Jaem.” Jeno menyodorkan sekotak susu Cimory hazelnut ke arah Jaemin yang sedang berjongkok di depan kamarnya, di samping rak sepatu. Lelaki itu enggan singgah di dalam kamar Jeno demi kesehatan paru-parunya.

Jaemin hanya melirik sekilas ke arah kotak susu di hadapannya. “Sorry Jen, gue nggak doyan susu.”

Jeno melipat bibirnya dalam. Merasa tak enak hati, ia bermaksud berbalik ke kulkas kosan untuk mengambil minuman yang lain. Urung, saat Jaemin tiba-tiba bangkit dari jongkoknya.

“Eh, nggak usah Jen, gue langsung balik aja ini ada kelas sore. Barang-barang ngampus gue masih di kos.”

Jaemin berkata jujur. Ia bukan sedang berbohong untuk menghindari interaksi dengan Jeno. Walaupun sering bertengkar, dua pacar Jisung itu sebenarnya akrab satu sama lain, bahkan lebih dulu berteman sebelum mengenal Jisung. Keduanya juga sering hangout untuk sekadar makan bersama atau main game bareng, bahkan tanpa Jisung. Walaupun seringkali obrolan mereka ujung-ujungnya juga nggak jauh-jauh dari Jisung ini dan Jisung itu.

“Oh, ya udah Jaem, hati-hati, ya. Sekali lagi makasih.” ㅤ . .

Jaemin tiba-tiba memutar tubuhnya saat kakinya sudah menuruni dua anak tangga.

Jeno menatap bingung pada Jaemin yang sedang melangkah kembali mendekatinya.

“Ada yang ketinggalan, Jaem?”

Bukannya menjawab, yang ditanya justru menangkup kedua pipi Jeno.

Tanpa aba-aba, Jaemin mendekatkan wajahnya dan mecuri satu kecupan lembut pada bibir Jeno.

“Titipannya Jisung ketinggalan,” bisik Jaemin saat hidung keduanya masih saling bersinggungan.

Jeno mematung sambil meremas kotak susu yang masih ada di genggamannya.

Tapi kenapa hanya dirinya yang tegang dengan situasi ini?

Jaemin saja hanya melemparkan cengiran menyebalkan—di mata Jeno—dan langsung melenggang pergi seperti tidak terjadi apa-apa.

“Anjir, Jen!”

Respon pertama dari tubuh Jaemin saat memasuki kamar Jeno adalah mata berkunang-kunang dan batuk sedang.

Kamar lelaki itu kondisinya sebelas dua belas dengan pabrik kimia yang mengalami kebocoran.

Jeno yang merasa terpanggil membalikkan badannya ke arah pintu kamar. Tangan kanannya masih menggenggam erat sebotol kaleng yang terlihat familiar. Familiar dan aneh di saat yang bersamaan, sampai membuat kedua alis Jaemin saling bertaut dalam.

“Lu ngapain nyemprot kecoa pake Stella, Jeno!!??”

Jeno memutar kedua bola matanya malas. “Ya udah sih, sama aja, gue punyanya ini.”

Sepasang mempelai yang beberapa saat lalu baru saja saling terikat di atas ikrar suci, mereka sama-sama sepakat, berbisik pada telinga satu sama lain, bahwa, “Nanti malem langsung tidur aja ya, aku capek banget.”

Anggukan keduanya terbukti, pada pukul delapan malam saat akhirnya mereka ditinggal berduaan di dalam kamar suite hotel—bonus dari paket pernikahan—, Jeno hanya membenamkan wajahnya di atas paha Jisung.

Jemari lentik Jisung dengan telaten mengelus dan memijat lembut kepala sang suami yang mengeluh, ”Pusing, kebanyakan liat orang.”

“Kirain pusing tadi ngitung amplopnya kebanyakan.”

Jeno hanya terkekeh pelan sebagai tanggapan. Diraihnya tangan Jisung yang masih menyisir surainya.

Tubuhnya yang semula memunggungi Jisung berbalik, semakin mendekatkan wajahnya dan mendusal pada bagian perut bawah suami tersayang.

Peredaran darah Jisung memanas, hatinya berdesir kala lembab dan basah bibir Jeno menyapu punggung tangannya.

Kala tatapan sayu menyapa netranya, serta dari bibir yang sama, suaminya itu berucap,

“Kamu ‘kan udah mijitin kepala aku. Kepala kamu mau aku pijitin juga, nggak?”

“Nanti malem langsung tidur aja ya, aku capek banget.” ㅤ Anggukan keduanya terbukti, terbukti salah. Hoax di malam pertama, hoax pertama dalam pernikahan mereka.